Sabtu, 18 Oktober 2014

SOLUSI PACAR HAMIL

# SOLUSI PACAR HAMIL #

 Bagaimana Solusinya Jika Pacar Hamil, Apakah Dinikahi?
 Pertanyaan:
 pacar hamil gimana solusinya secara islami? Menikah dengan pacar yg sedang hamil,gimana hukum islamnya?
 Jawaban:
 Bismillah, was shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillah, ammaa ba’du.
 Pertama, sesungguhnya perbuatan zina adalah dosa yang sangat besar, perbuatan keji yang dinilai jelek oleh setiap insan yang memiliki fitrah yang lurus. Karena itu, Allah melarang manusia untuk mendekati perbuatan ini. Tidak hanya perbuatannya yang dilarang, namun semua jalan menuju perbuatan dilarang oleh Allah untuk didekati. Allah berfirman,
وَلاَتَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلاً
“Janganlah kalian mendekati zina. Karena zina adalah perbuatan keji dan sejelek-jelek jalan.” (QS. Al-Isra’: 32).
 Oleh karena itu, segala sesuatu yang bisa mengantarkan kepada perzinaan ditutup rapat-rapat dalam ajaran islam. diantara buktinya adalah:
 Islam mengajarkan agar para wanita berjilbab secara sempurna, dan hanya boleh menampakkan wajah dan telapak tangan. (lihat Alquran surat An-Nur: 31 dan Al-Ahzab: 59)
 Islam melarang wanita suka keluar rumah dan berdandan, dengan menampakkan kecantikannya kepada lelaki. (lihat Alquran surat Al-Ahzab: 33)
 Islam memerintahkan agar masing-masing di kalangan laki-laki dan wanita untuk menjaga pandangannya, agar tidak melihat sesuatu yang diharamkan, atau tertarik kepada lawan jenis. Dan masih banyak lagi hukum-hukum lainnya yang semuanya menuju satu kesimpulan bahwa islam sangat ketat dalam menjaga hubungan antar-lawan jenis. Bagi mereka yang mengaku muslim, seharusnya memperhatikan aturan-aturan semacam ini.
 Kedua, Lelaki maupun wanita yang berzina dan dia belum bertaubat maka dia berhak disebut sebagai pezina.
 Jika keduanya menikah sementara belum bertobat dengan sebenar-benarnya, maka berarti pernikahan yang terjadi adalah pernikahan antara pezina. Karena itu, bagi yang terjerumus ke dalam perbuatan haram ini, segeralah bartobat. Memohon ampunan kepada Allah dengan disertai perasaan sedih dan bersalah. bertekad untuk tidak mengulanginya kembali. Semoga Allah mengampuni dan menerima taubat anda. Jika tidak, maka selamanya label pezina akan disandangnya.
 Sebelum membahas nikah, kami tegaskan untuk dengan serius bertobat terlebih dahulu. Baru setelah itu, memungkinkan untuk pembahasan pernikahannya.
 Ketiga, tentang hukum menikah dengan wanita yang berzina dengannya. Ulama menjelaskan bahwa dalam masalah ini hukumnya dibagi menjadi dua:
 Zina yang tidak sampai hamil. Lelaki tersebut hanya boleh menikahi sang wanita, jika rahimnya telah dipastikan bersih dan tidak ada janin (disebut dengan istibraa’). Acuannya adalah terjadinya haid. jika sang wanita sudah mengalami haid sekali maka keduanya boleh menikah.
 Zina yang menyebabkan hamil. Lelaki tersebut tidak boleh menikahi wanita yang hamil dengan dirinya, sampai sang wanita melahirkan janinnya. Karena itu, tidak boleh bagi keluarga wanita untuk menikahkan putri yang sedang hamil dengan lelaki yang menghamilinya. Jika tetap dinikahkan maka nikahnya batal, dan semua hubungan setelah nikah batal adalah hubungan zina. Dengan demikian, menikahkan wanita hamil dengan lelaki yang menghamilinya sebelum dia melahirkan, justru akan menambah dosa. Karena dalam pernikahan ini akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, yaitu melegalkan perzinaan atas nama nikah. Semua ini ditetapkan agar air mani hasil zina tidak bercampur dengan air mani hasil nikah. Karena air mani zina hukumnya haram dan air mani nikah hukumnya halal. Dan tidak boleh mencampurkan antara yang halal dengan yang haram.
 Keempat, Anak hasil zina tidak boleh di-Bin-kan kepada bapak biologisnya, tetapi nanti di-Bin-kan kepada ibunya. Misal: Dono bin Siti. Karena anak itu bukan anak bapak biologis. Meskipun dia menjadi suami ibunya.
 Siapa yang meng-Bin-kan anak tersebut kepada bapaknya dia terkena ancaman, sebagaimana dalam hadis berikut,
 Dari Abu Bakrah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mengaku anaknya seseorang yang bukan bapaknya, dan dia mengetahuinya maka surga haram baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
 Sementara bapak biologis bukanlah bapaknya, karena itu, haram hukumnya untuk menge-Bin-kan dirinya kepada bapak biologisnya.
 Subhaanallah...betapa banyaknya kerusakan yang ditimbulkan akibat perzinaan. Mulai dari kerusakan sosial, hingga bentuk mengubah nasab seseorang.
 Semoga Allah memberi petunjuk kepada Allah agar diselamatkan dari perbuatan zina dan setiap sarana yang mengantarkan pada perzinaan. Semoga bermanfaat.
 Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits, S.T. (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
 Artikel www.konsultasisyariah.com
 sumber : http://www.konsultasisyariah.com/solusi-pacar-hamil/

Senin, 15 September 2014

Bintang 🌟 Fajarku Part II

Bintang Fajarku Part. II - Cerpen Islami
Bintang Fajarku Part. II - Cerpen Islami BINTANG FAJARKU PART. II Cerpen Karya Siti Fatimah Binti Jafar Nasehat Kakek Hamid selalu Zainab ingat. Hingga saat ini. Meskipun sudah lima belas tahun waktu berlalu namun rasanya Kakek dan Neneknya masih ada didekatnya. Mereka hidup di dalam hatinya. Hari itu semua yang dikatakan Kakek Zainab terbukti kebenarannya saat mereka memindahkan makam Kakek dan Neneknya. Tanah tempat tinggal mereka dulu terpaksa dijual. Soalnya disebelahnya sudah dibangun gereja. Zainab dan keluarganya takut bila terus tinggal disana orang – orang Nasrani itu akan mempengaruhi adik – adiknya. Kain kafan yang membungkus jasad Kakek dan Neneknya masih utuh dan bersih hanya saja dipenuhi akar kelapa. Maklum di kebunnya dulu banyak ditumbuhi pohon kelapa yang semuanya ditanam oleh sang Kakek. Ketika kain kafannya dibuka, air mata Zainab tak kuasa di tahan. Dia menangis terisak – isak melihat tulang belulang Kakeknya. Tubuh tegap yang dulu sering dipeluk kini setelah lima belas tahun hanya tinggal tulang belulang. Gerimis siang itu seolah langit ikut menangis melihat salah seorang manusia yang dulu bernaung dibawahnya kini hanya tersisa tulang belulang tanpa sedikitpun daging yang melekat. Tulang belulang itu tersusun rapi seperti tengkorak dalam laboratorium IPA yang dulu sering dipakai praktek biologi. “ Subhanallah...Maha suci Engkau ya Allah. “ Bibirnya bergetar takjub. Begitu besar amal ibadah kedua Ambunya hingga Allah selalu menjaganya walaupun sudah tiada. Dimakam Kakeknya Zainab berjanji selalu menunggu bintang fajar saat subuh tiba. Diapun berjanji akan mencari bintang fajar yang seperti almarhum Kakeknya. Yang selalu bersinar terang di sunia dan akherat. Yang insya Allah akan menjadi imam buatnya dan anak – anaknya nanti. Yang menjadi petunjuk dimana letak syurga Allah hingga langkah kakinya tak akan pernah tersesat lagi seperti dulu sebelum bertemu Kakeknya tersayang. Sebelumnya diapun ingin menjadi bintang fajar, dia tak ingin hanya menjadi sebatang lilin yang hanya bersinar sesaat. Agar esok di yaumil akhir dia bisa bertemu dan berkumpul kembali dengan Kakek Hamid. Insya Allah.... ==========Selesai========== Indeks : Ambu = Sebutan untuk Kakek dan Nenek dalam bahasa Ende Inne ne’e Baba = Ayah dan Ibu Ja’o = Saya Ambu nggae apa = Kakek mencari apa? Medzengata le = Besar sekali ya Ja’o mbembo = Saya tidak tahu / saya tidak mengerti Ngeamba = Bagaimana LIMA MENIT YANG LALU Tidak terasa sudah tiga bulan waktu berlalu. Dan aku masih disini, masih setia menunggu kepulangan Agung dari Yogyakarta. Meskipun ini bukanla yang pertama kalinya dia pergi tanpa pamit. Aku tak perduli. Bagiku dia adalah laki – laki terbaik yang menjadi dambaan setiap wanita. Dulu aku harus berjuang keras mengalahkan semua gadis – gadis yang juga berharap bisa mendapatkan cintanya. Meskipun kedua orang tuaku tak perna mau merestui hubungan kami, aku tetap kukuh mempertahankan cintaku padanya. Dihatiku anya ada Agung, Agung dan Agung. Tak akan ada yang lain. Tak akan pernah ada cinta yang lain sekarang dan selama-lamanya. Aku tak perduli meskipun banyak orang yang selalu mencibir sinis setiap kali kami jalan bersama. “ Koq bisa ya bapaknya Haji tiga kali tapi kelakuan anaknya sungguh memalukan. Bisa – bisanya dia berhubungan dengan anak pendeta. Otaknya ditaruh dimana? Dia berjilbab tapi pacarnya memakai kalung salib sebesar jangkar kapal.” Begitulah kata mereka. Akupun langsung menanggalkan jilbabku. Jilbab yang sudah kupakai semenjak masih Tk dulu. Kedua orang tuaku marah besar. Tetangga semakin gencar menggosipi aku. Namun aku tak pernah perduli. Menurutku mereka hanya sekelompok orang – orang tak berguna yang kerjanya hanya berghibah. Dosa mereka lebih besar dari dosaku karena mereka memakan bangkai saudaranya sendiri. Terserah mereka mau bilang apa yang jelas aku bahagia menjadi kekasih Agung Saputra. Biarla anjing menggonggong, aku akan tetap melangkah. Aku tak perduli meskpun agama kami berbeda karena cinta tak mengenal perbedaan. Lagi pula aku tak mungkin dipaksanya untuk mengikuti agamanya, sebab saat pertama kali kami jadian dia sudah berjanji akan mengikuti agamaku. “ Sayang, hari ini aku pulang. Tolong kamu jemput aku di stasiun kereta api pukul dua belas tepat. Aku sangat rindu padamu.” Begitu bunyi sms yang dikirim Agung pagi tadi. Perempuan mana yang tak akan bahagia menyambut kepulangan kekasihnya? Apalagi sudah tiga bulan kami tak bertemu dan selama itu dia tak pernah sekalipun menghubungiku. Nomornya selalu tak aktif. Baru hari ini dia menghubungiku lagi dan mengabarkan kalau dia akan pulang. Pukul setengah sebelas aku sudah berdandan rapi dan secantik mungkin. Aku ingin tampil sempurna dihadapan kekasihku. Aku harus berangkat lebih awal agar bisa mendapat kendaraan yang kosong. Soalnya sekarang hari jum’at anak – anak sekolah dan pegawai pulang lebih awal. Akibatnya bemo jadi sarat. Ojekpun tak akan bisa ditemukan soalnya hampir semua tukang ojek beragama islam. Biasanya jam setengah dua belas mereka sudah meninggalkan pangkalan. Aku tidak mau naik bemo soalnya aku kadang tak bisa menahan rasa marahku saat bocah – bocah ingusan itu menjadikan kaki cacatku sebagai objek perhatian mereka. Sering kali mereka mengejek kakiku yang cacat sebelah. Selain itu aku takut bila terlambat menjemputnya Agung akan marah besar. Dia paling tidak suka bila aku tak tepat waktu karena dia selalu on time bila kami janjian. Padahal dia tahu kalau sebelah kakiku cacat makanya tak bisa berjalan cepat. “ Kalau masih mau jadi pacarku kamu harus selalu on time. Aku tak suka punya cewek lelet. Kakimu yang cacat jangan dijadikan alasan keterlambatanmu. Masih banyak cewek sempurna diluar sana yang mengharapkan cintaku jadi kamu jangan bertingkah dihadapanku. “ Begitu katanya setiap kali aku terlambat. Dia tak perduli walaupun kami ada di tempat umum dia tetap saja menumpahkan amarahnya. Aku takut Agung akan meninggalkanku. Aku tak ingin kehilangan dia. Lewat pintu belakang aku keluar dari rumah. Kedua orang tuaku sedang berbincang – bincang di ruang tengah makanya mereka tak melihat sewakta aku kabur dari pintu belakang. Langkah kakiku semakin ku percepat akibatnya kaki kananku yang cacat terasa sangat sakit. Ya Allah kenapa Engkau takdirkan aku memiliki sebelah kaki yang kecil? Kaki sialan ini sangat menyebalkan. Gara – gara kaki cacat ini aku tak bisa melangka dengan cepat sehingga selalu terlambat menemui kekasihku. Nasibku memang sangat – sangat sial. Aku menghabiskan waktu setengah jam untuk bisa sampai di pangkalan ojek. Naasnya lagi saat aku sampai tak ada satupun ojek yang terlihat. Entah pergi kemana mereka semua. Padahal biasanya pangkalan ojek selalu ramai. Terpaksa aku berjalan kaki lagi menuju terminal angkot. Bedak yang kupakai suda terhapus gara – gara keringat yang membasahi wajahku. Aku sangat lelah namun keinginan untuk bertemu Agung membuatku tak menghiraukan kaki kananku yang nyeri. Beruntung ketika sampai di terminal masih ada satu kendaraan yang menuju ke stasiun. Saat mau naik kedalam angkot seorang anak lelaki pedagang rokok membantuku naik. “ Terimakasih, Dik.” Ucapku dan dia hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ramah. Dalam hati ada sedikit rasa perih, anak laki – laki yang tak kukenal itu begitu tulus membantuku tanpa kuminta. Tidak seperti Agung. Mana pernah dia membantuku malahan dia selalu bersikap seolah – olah kami tak saling kenal. Waktu kutanya apakah dia malu memiliki pacar cacat dia malah marah – marah. Katanya dia bukannya malu, dia hanya ingin aku mandiri dan jangan bergantung padanya. Walaupun sudah setahun pacaran aku masih belum bisa memahami sikapnya yang selalu berubah – ubah. Kadang dia penuh perhatian tetapi kadang dia bersikap tak perduli. “ Kakak mau kemana? “ Tanyanya ramah. Celana seragam biru panjang yang dipakainya menandakan kalau dia siswa MTs. Memang banyak anak – anak kurang mampu yang bekerja sepulang sekolah. “ Mau ke stasiun, Dik. Mau menjemput pacar. ” Entah kenapa aku bisa sejujur ini padanya. “ Mengapa kakak tidak menunggu di rumah saja? Kasihan kaki Kakak kan cacat. “ “ Kalau Kakak tidak menjemputnya nanti dia marah. “ “ Dia pasti orang yang tak punya hati. Sudah tahu stasiun jauh dari rumah Kakak masih saja menyuruh Kakak menjemputnya. Kalau memang dia pacar yang baik kenapa menyiksa Kakak seperti ini? Baru jadi pacar saja sudah jahat begini apalagi nanti kalau sudah jadi suami. “ Gerutunya. Kata – kata bocah itu membuatku kesal sekaligus malu. Seandainya dia sesusia denganku mungkin sudah ku gampar mulut usilnya. Seenaknya saja dia mengata – ngatai pacarku. Beberapa penumpang yang mendengar percakapan kami melempar pandangan dan senyuman sinis. Menyebalkan sekali. Mungkin mereka tak percaya cewek cacat macam aku bisa punya pacar. Tetapi biarlah aku tak perduli. Aku memutuskan untuk diam dan tak melayaninya bicara. Sewaktu turun di depan stasiun aku menolak uluran tangannya. “ Saya bisa turun sendiri. “ tukasku ketus. Syukurlah kereta apinya masih sejam lagi baru datang. Berarti kali ini untuk pertama kalinya aku tidak terlambat menjemputnya. Kali ini aku tidak akan dimarahi lagi. Agar tidak jenuh aku menunggunya sambil mengisi TTS yang tadi kubeli dari anak laki – laki itu. Satu jam bukanlah waktu yang lama. Yang aku tunggu adalah kekasihku jadi anggap saja ini sebuah pengobanan cinta. Agung pasti akan memuji dan semakin mencintaiku. Allahu Akbar....Allahu Akbar....! Terdengar suara adzan dari Mesjid yang terletak di seberang rel kereta api. Aku melirik jam tanganku, sudah pukul 12.10 menit. Kata Agung kereta api yang ditumpanginya akan tiba pukul dua belas tepat. Tapi kenapa sudah lebih sepuluh menit kereta apinya belum datang juga? Aku ingin bertanya pada petugas yang ada di loket namun wajah sangernya membuatku takut. Kumis dan cambang memenuhi wajahnya. Kuputuskan untuk menunggu namun perasaanku mulai tak enak. Aku takut terjadi sesuatu dengan Ibu. Aku ingin menelpon tetanggaku namun sialnya Hpku ketinggalan di rumah. Dengan menahan rasa takut aku memberanikan diri bertanya pada penjaga loket. “ Maaf, Pak masih berapa lama kereta apinya tiba disini ?” “ Darimana, Mbak? ” Suaranya besar tapi sikapnya sangat ramah. “ Dari Yogyakarta. ” “ Oooo...biasanya terlambat satu atau dua jam, Mbak. Ada keluarganya yang datang? “ “ Pacar saya,Pak. Terima kasih. “ Satu atau dua jam lagi? Aduh bagaimana ini, tadi aku belum masak nanti kalau Bapak sudah pulang sholat jum’at beliau makan apa? Adik lelakiku mana bisa masak. Seandainya Ibu tidak buta beliau bisa masak buat Bapak. Sayangnya Ibu kehilangan penglihatannya setelah melahirkan aku. Kalau aku pulang takutnya ketika aku dalam perjalanan pulang atau kembali kesini kereta apinya sudah sampai. Bisa – bisa Agung marah besar dan meninggalkanku lagi. Ditengah kebingunganku bocah lelaki itu datang menghampiri. “ Ada apa? “ Tanyaku ketus. Aku masih kesal padanya. “ Saya hanya mau duduk, Kak. Tidak boleh? “ Mata beningnya menatapku lembut. Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku pura – pura kembali mengisi TTS. Tetapi pikiranku dipenuhi wajah lapar Bapak dan tatapan kosong Ibu. Aku jadi tak bisa konsentrasi. Apakah aku harus terus menunggu Agung atau pulang dan hasil akhirnya dia memutuskan aku. Tidak, itu semua tidak boleh terjadi. Biarlah aku tetap menunggunya disini. Toh, Bapak bisa membeli makanan di warung. “ Kakak kenapa gelisah sekali? Kereta apinya belum datang ya? Kakak datangnya terlalu tempo. Lebih baik Kakak pulang saja. Kasihan kalau harus nunggu disini. “ “ Kamu kenapa jadi anak kecil suka sekali ikut campur urusan orang dewasa? Kamu pikir karena tadi sudah menolong aku kamu lantas punya hak untuk ikut campur urusanku? Atau kamu mau minta bayaran?.” Emosiku naik kembali. Kuambil uang sepuluh ribu dari dalam tas lalu ku sodorkan padanya. “ Ini uang apa, Kak?” Tanyanya pura – pura bodoh membuatku semakin kesal. “ Ini upah karena kamu tadi sudah menolongku. Kenapa? Masih kurang? Kamu mau berapa? “ “ Kakak jangan salah paham. Aku ikhlas menolong Kakak. Dan aku lebih mengharapkan upah dari Allah daripada Kakak. Kakak bukan muslim ya, pantas saja tidak tahu soal itu. “ Aku tercekat. Sekali lagi dia membuat dadaku sesak. Dulu ketika masih berjilbab orang langsung tahu kalau aku ini seorang muslim. Namun sekarang saudaraku sendiri tak bisa mengenaliku karna penampilanku sama dengan perempuan – perempuan kafir. Padahal pakaianku masih menutup aurat hanya jilbabku yang lenyap. “ A...Aku muslim. Namaku Siti Aisyah. “Leherku seperti dicekik saat mengucapkan kata – kata itu. Ada rasa perih yang semakin menjadi – jadi. Entah kenapa aku merasa sangat malu padanya. “ Nama Kakak bagus sekali sama dengan nama isteri Baginda Rosul. Namaku Muhammad Nur. Biasa dipanggil Nur sama Ibuku karena katanya biar aku selalu menjadi cahaya buatnya. “ “ Namamu juga bagus. Cahaya Muhammad. “ “ Kakak sudah sholat? “ “ Belum. “ “ Kenapa belum solat? Diseberang jalan sana ada mesjid. Tadi sya sholat jum’at disana. ” “ Waktu sholat dzuhurkan masih panjang. Biar sekalian nanti saya sholat di rumah saja. Satu jam lagi kereta apinya tiba. “ “ Kakak yakin masih hidup sampai satu jam lagi ? ” “ A...apa maksudmu ? “ “ Sekarang aku mau nanya sama, Kakak. Tadi pacar Kakak minta dijemput jam berapa? “ “ Jam satu. “ “ Terus Kakak berangkat dari rumah jam berapa? “ “ Jam setengah sebelas. “ “ Kok Kakak berangkatnya setengah sebelas ? Kenapa ?” “ Rumah Kakak jauh dari jalan umum makanya Kakak takut terlambat dan membuat dia marah. Kakak sangat mencintainya. Kakak tidak ingin kehilangan cintanya. Sebenarnya maksud semua pertanyaan kamu ini apa? Apa hubungannya sholat dengan menunggu pacar? “ “ Tentu saja ada hubungannya. Ketika azan berkumandang itu artinya Allah sedang memanggil kita untuk mengerjakan sholat. Sayangnya kebanyakan orang menunda menemui Kekasih Sejatinya hanya karena sibuk dengan urusan duniawi. Sama seperti Kakak. Kakak sangat takut terlambat menemui pacar Kakak sehingga nantinya dia marah dan meninggalkan Kakak. Tetapi Kakak sama sekali tidak merasa takut akan kemarahan Allah karena Kakak tidak langsung menemuinya ketika mendengar azan. Waktu sholat selalu Kakak tunda dan mungkin kadang Kakak abaikan panggilan Allah itu. Coba sekarang Kakak pikir baik – baik seruan cinta Allah atau seruan cinta pacar Kakak yang arus Kakak dengar? Mana yang lebih menakutkan kehilangan cinta Allah atau kehilangan cinta pacar? Ingatlah Kekasih Sejati kita hanyalah Allah. Dan Allah tak pernah berdusta seperti manusia yang penuh dengan seribu janji namun ujung – ujungnya Allah-lah yang menentukan hasil akhirnya. Allah lebih tahu mana yang terbaik buat kita umatNya. “ Kata – kata Nur seperti air es membuat tubuhku menggigil. Aku bukannya menggigil karena kedinginan tetapi aku menggigil karena ketakutan. Aku sangat takut. Takut kalau apa yang dia katakan benar – benar terjadi padaku. Apa jadinya jika Allah meninggalkanku? Kerak neraka akan terbuka lebar menantiku. Dalam benakku terurai kembali perjalanan cintaku bersama Agung selama setahun ini. Aku ingat selama berhubungan dengannya aku jadi jarang mengikuti kegiatan Rohis di kampus. Aku selalu telat sholat dan terkadang tidak menunaikannya bila sedang pergi dengannya. Aku jadi tak fokus kuliah dan lebih banyak menghabiskan waktuku bersamanya. Setiapa kalia dia sms atau telepon mengajak ketemuan aku selalu berbohong pada kedua orang tuaku agar diijinkan keluar rumah. Aku tak pernah lagi mengurus Ibu yang buta. Hidupku jadi penuh sandiwara. Sandiwara yang terkadang menyiksaku. Berkali – kali aku menangkap basah Agung pergi dengan perempuan lain namun janji – janji manisnya membuatku tak berdaya. Bukan cinta yang membuat kedua mataku tertutup namun nafsu untuk memiliki Agunglah yang membuat aku tak berdaya. Terkadang aku tak bisa membedakan diantara keduanya. Namun hari ini aku sudah menemukan jawabannya. Selama ini aku sudah menjadika Agung tuhanku hanya untuk mendapatkan cintanya. Sekarang aku ingin kembali pada dien-ku. Aku ingin kembali mengejar cinta Rabb-ku yang Agung. Apapun yang terjadi nanti akan aku terima dengan hati yang ikhlas. Seperti kata bocah itu Allah tahu mana yang terbaik buat HambaNya. Aku berdiri dan meluruskan niatku. Aku mau pulang. Aku ingin minta maaf pada Bapak, Ibu dan adikku. Selama ini aku sudah membuat mereka malu dengan kelakuan burukku. Melupakan kewajibanku sebagai seorang anak dan kakak yang baik. Aku ingin mohon ampun pada Allah karena selama setahun ini aku sudah melupakan fitrahku sebagai seorang hambaNya. “ Kakak mau kemana ? ” Tanya Nur. “ Pulang. “ Jawabku mantap. “ Kereta apinya sebentar lagi sampai, Kak. Tuh, suara peluit lokomotifnya sudah terdengar. Kakak tidak mau menjemput pacar Kakak? Nanti dia marah. Kakak tidak takut dia akan meninggalkan Kakak? “ Walaupun dia bertanya begitu dari cara bicaranya aku sudah tahu kalau dia senang sekali. Aku mengusap rambutnya yang masih basah terkena air wudhu. “ Bukankah katamu ada cinta yang lain yang lebih indah, suci dan agung dari cintanya? Lima menit yang lalu aku memang masih mencintainya. Namun setelah mendengar nasehatmu akupun sadar kalau selama ini aku telah salah menilai perasaanku padanya. Apa yang aku rasakan selama setahun ini bukan cinta melainkan hanya hasrat untuk bisa memilikinya. Lagi pula dia bukan seorang muslim. Percuma Kakak mengejar cintanya, sebab tidak mungkin dia akan memberikan cintanya dengan gratis. Dan Kakak tidak mau membayarnya dengan iman di dada Kakak. Cukup sudah selama ini dia membuat Kakak jauh dari Allah. Aku ingin pulang dan mengejar cinta Tuhanku. “ “ Kakak tidak akan kecewa? “ Dia masih mengujiku. “ Kenapa Kakak harus kecewa? Kakak yakin suatu hari nanti Allah akan mengutus seorang KhalilullahNya untuk menjadi imam buat Kakak di dunia dan akherat seperti saat ini Dia mengutus seorang malaikat kecil yang tampan untuk menyadarkan Kakak kalau selama ini Kakak sudah menempuh jalan yang salah. “ “ Alhamdulillahirobbil ‘alamiin. Kakak memang hebat ! Inilah sikap seorang muslimah sejati. “ Ah, tak terasa air mataku mengalir. Muslimah sejati. Dulu aku bercita – cita ingin menjadi seorang muslimah sejati yang hanya mencintai Allah dan Rosulnya. Yang selalu berpegang teguh pada Dien-ku. Namun setelah bertemu Agung akupun melupakan semuanya. Astaghfirullahaladziem...Ampuni hamba ya Allah. Bismillahirrohmanirroim...Kuayunkan langkah pulang ke rumah. Kakiku terasa ringan, hatikupun begitu. Entah kenapa aku sangat bahagia. Dalam hati berulang – ulang ku lafadzkan sebuah do’a terindah dalam hidupku Ya muqollabal qulubi tsabbat qulbii’aladienika yaa musorrofal qulubi tsabbat qulbii’ala thoo’atika. Wahai yang membolak balikkan hati, teguhkanlah hatiku diatas dienMu, wahai yang mengubah – ngubah hati, tetapkanlah hatiku diatas ketaa’tan padaMu. Aamiin... Baca Sambungannya : 1.Bintang Fajarku Part. I 2.Bintang Fajarku Part. II PROFIL PENULIS Nama : Siti Fatimah Binti Jafar Alamat : MTsN. Kamalaputi Jln. Sultan Agung no. 36. Waingapu Sumba Timur NTT Facebook : shifa jafar

Bintang 🌟 Fajarku Part I

Bintang Fajarku Part. I Karya Siti Fatimah Binti Jafar
Bintang Fajarku Part. I Karya Siti Fatimah Binti Jafar BINTANG FAJARKU PART. I Cerpen Karya Siti Fatimah Binti Jafar Zainab terjaga dari tidurnya akibat serbuan nyamuk – nyamuk nakal yang kelaparan. Padahal tubuhnya sudah kurus kering tetapi anehnya setiap malam nyamuk – nyamuk itu masih saja mengincar darahnya. Mungkin darah yang mengalir dalam tubuhnya merupakan menu spesial buat mereka. Makanya setiap malam dia seperti sedang melakukan transfusi darah gratis buat nyamuk – nyamuk itu. Sepertinya obat nyamuk bakar yang dibakar Nenek sudah habis makanya nyamuk – nyamuk itu mulai unjuk gigi. Iklan di televisi bilang bisa tahan 8 jam tapi anehnya baru 6 jam obat nyamuknya sudah habis. Beginilah kalau jadi korban iklan. Untung besar buat mereka tapi buntung besar buat Zainab. “ Aduh, dasar nyamuk – nyamuk jelek. “ Gerutunya kesal. Hembusan angin dingin yang menerobos masuk melalui celah dinding yang terbuat dari pelepah kelapa yang sudah lapuk dimakan usia, membuat tubuh mungilnya menggiging kedinginan. Tangannya meraba – raba dalam gelap berusaha mencari kain sarungnya. Namun tak ada. Berbekal cahaya bulan yang menerobos masuk melalui atap yang bocor, dia berhasil menemukan kain sarungnya yang ternyata jatuh di bawah tempat tidurnya. Mulutnya menguap lebar karena masih mengantuk, namun ketika dia ingin kembali melanjutkan tidurnya suara derit tempat tidur bambu yang ada di belakang lemari mengurungkan niatnya. Ada yang bangun. Tak lama kemudian cahaya redup dari lampu pelita yang terbuat dari botol bekas menerangi sebagian kamar. Lalu terdengar suara batuk. Zainabpun tahu siapa yang bangun. Suara batuk itu pasti suara batuk Kakek Hamid. Beliau adalah ayah kandung Ibunya. Sudah beberapa bulan ini Zainab tinggal bersama Kakek dan Neneknya. Dia terpaksa pindah dari Ende ke Waingapu karena permintaan Ibunya. “ Kasihan Ambumu sudah sepuluh tahun mereka tak melihatmu. Mereka pasti sangat merindukanmu, Zainab. Apalagi kamu cucu pertamanya. Inne ne’e Baba harap kamu bisa menggantikan kami merawat kedua Ambumu. Karena itu kamu sekolah di Waingapu saja ya, disana juga ada MTs sama seperti disini. Kami tidak bisa mengantarmu karena adik – adikmu ini mabuk laut. Kamu bisa kan pergi sendiri? Nanti ada Om Azis yang liat kamu selama di Kapal. “ Pinta Ibunya ketika dia menerima Ijasah SDnya. Dan Zainab tak punya nyali untuk menolak permintaan Ibunya. Walaupun Ibunya meminta dengan sangat halus, Zainab sudah cukup tahu kalau dibalik kata – kata halus itu tidak ada yang namanya penolakan. Semua yang dikatakan Ibunya harus diikuti. Bila tidak maka tubuhnya akan dicium kayu atau cubitan kuku. Dia ingin meminta pertolongan Ayahnya namun lelaki yang selalu membelanya sudah hampir sebulan ini kerja bangunan di Maumere. Otomatis semua keputusan ada di tangan sang Ibu. Dan dia harus mengikutinya. “ Kamu sudah bangun? “ Suara Kakek Hamid mengejutkan Zainab. Kakek Hamid merapikan kain sarung yang menutupi tubuh Nenek Halimah.Lelaki tua itu begitu setia dan penuh kasih sayang. Namun karena baru kali ini bertemu dan tinggal bersama mereka, Zainab masih merasa takut dan sungkan. Zainab hanya diam tak menjawab pertanyaan sang Kakek. “ Tidur sudah di luar masih gelap. “ Kata Kakek Hamid lagi sebelum meninggalkannya. Tak lama kemudian terdengar suara derit pintu. Zainab jadi heran mau kemana Kakek Hamid malam – malam begini? Tidak mungkin kalau ke pasar. Mana ada orang yang membeli ikan malam – malam begini. Dari celah dinding kamarnya Zainab mengintip keluar. Dilihatnya Kakek Hamid sedang berdiri sambil memandang langit di sebelah timur. Aneh, apa yang dilihatnya? Karena penasaran Zainab memutuskan untuk keluar dan melihat apa yang dilakukan Kakek Hamid di luar sana. “ Kamu kenapa keluar? Mau buang air kecil? Mari sudah Ambu antar pergi kamar mandi. Jangan pergi sendiri, masih gelap. “ “ Ja’o tidak mau buang air kecil. “ Jawab Zainab sedikit kaku. Disamping karena rasa takut juga karena selama di Ende dia jarang memakai bahasa Indonesia. Makanya kalau bicara selalu dicampur dengan bahasa Ende. “ Ooo... Ambu pikir kamu mau buang air kecil. Lalu kenapa kamu keluar? Masuk tidur sudah. Matahari masih lama baru muncul. “ Kakek Hamid tersenyum lembut. Rambut Zainab dibelainya dengan rasa sayang. “ Ambu nggae apa? “ Zainab memberanikan diri untuk bertanya. “Ambu lagi melihat bintang fajar. “ “ Bintang Fajar? Untuk apa? ” “Ambu mau sholat Subuh. Tetapi Ambu tidak tahu sekarang sudah jam berapa. Suara adzan subuh kita tidak bisa dengar karena mesjid terlalu jauh. Kalau sudah ada bintang fajar berarti sudah subuh. Di sekolahnya Zainab dulu Ibu Guru pasti pernah ajar tentang bintang fajar kan? “ Zainab menganggukkan kepalanya. “ Bintang fajarnya sudah ada? “ Zainab ikut menengadah ke langit sebelah timur mencari sang bintang fajar. Tetapi karena kedua matanya masih sangat mengantuk dia tak bisa melihatnya. “ Itu diantara tiga bintang yang berjejer. Yang paling besar dan cahayanya paling terang. “ Kakek Hamid mengarahkan telunjuknya agar cucunya bisa ikut melihat bintang fajarnya. “ Padahal ada disitu na. Medze ngata le. “ Zainab tertawa senang. “ Zainab sudah berapa kali melihat bintang fajar? “ “ Ja’o baru lihat. Di Ende tidak ada bintang fajar. “ “ Ada, tapi Zainab tidak pernah bangun subuh makanya tidak pernah lihat bintang fajar. Iya kan? “ Zainab mengangguk dan tersenyum malu. Selama di Ende dia tak pernah sekalipun bangun subuh. Paling cepat dia bangun jam enam pagi. Itupun kalau dibangunkan Ibunya biar tidak terlambat ke sekolah. “ Kira – kira sudah adzan subuh atau belum? “ “ Tidak tahu lagi. Tapi mungkin sudah adzan subuh kan sudah ada bintang fajar. “ “ Kalau begitu Ambu sholat dulu. Zainab mau sholat juga? “ “ Sholat? Tetapi ja’o mbembo cara solat itu ngeamba . ” “ Zainab tidak tahu cara sholat? Apa selama ini kamu tidak pernah sholat? “ “ Kami tidak pernah sholat. Baba sibuk kerja kalau Inne setiap hari urus adik – adik. “ “ Astaghfirullahaladziem...” Kakek Hamid mengurut dadanya seakan tak percaya dengan jawaban cucunya. Dalam hati beliau bertanya – tanya selama ini apa saja yang dikerjakan anak dan menantunya sehingga cucunya tak bisa sholat dan mengaji. Apakah mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan duniawinya sehingga melupakan bekal syurgawinya? Padahal anak adalah jembatan saat melintasi Shirotal Mustaqiem. Jika anak tak tahu ilmu agama bagaimana dia bisa menolong orang tuanya di akherat nanti? Bisa – bisa satu keluarga jatuh ke dalam neraka. Naudzubillahimindzalik! “ Kalau mengaji, Zainab bisa kan? “ “ Zainab baru masuk Iqro’ 2 waktu mau pindah disini. “Jawab Zainab polos. Kakek Hamid menatap wajah Zainab tak percaya. Rasanya tidak mungkin anak usia 12 tahun belum mengetahui tata cara sholat. Beliau saja usia 6 tahun sudah bisa mengaji dan sholat. “ Ambu mau mengajari Zainab sholat dan mengaji? “ Tanya Zainab ragu – ragu. “ Zainab mau belajar sholat dan mengaji? “ “ Iya, mereka bilang kalau mau sekolah di MTs Ende itu harus bisa sholat dan mengaji. Tetapi karena ja’o tidak bisa sholat dan mengaji, Inne ne’e Baba suruh saya sekolah di MTs Waingapu saja. Disini tidak ada tes jadi biarpun tidak sholat dan mengaji bisa sekolah disini. Tetapi ja’o tidak mau sekolah disini, ja’o mau sekolah di Ende saja. Disini banyak babi dengan anjing tidak seperti di Ende. “ “ Kalau memang Zainab mau belajar sholat dan mengaji insya Allah sebentar Ambu bicara dengan ustad Abu Bakar. Biar nanti Zainab belajar di TPA. Zainab mau? “ “ Kenapa bukan Ambu saja yang ajar sama saya ? Ambukan bisa mengaji dengan sholat? Kalau mengaji di kampung sebelah saya tidak berani karena saya tidak kenal mereka semua. Nanti mereke ganggu saya lagi. Ambu saja yang ajar saya e. “ “Ambu tidak bisa mengaji, Ambu hanya bisa sholat. “ “ Biar tidak bisa mengaji bisa sholat? Kalau begitu saya tidak usah belajar mengaji, belajar sholat saja. Tetapi nanti baca apa sudah kalau sholat? “ “Ambu memang tidak bisa mengaji tetapi Ambu hafal niat sholat dan semua bacaan sholat. Ambu juga hafal beberapa surat dalam Al-Qur’an. Kalau Zainab hafal surat apa saja? “ “ Hanya surat Al-Fatihah saja. Dulu waktu TK saya hafal niat sholat dan bacaannya tetapi karena tidak pernah sholat saya lupa semua. Do’a tidur, makan, masuk WC Ibu guru ajar semua. Tetapi sekarang saya sudah tidak ingat. Saya waktu SD sekolah di SD Katolik karena dekat dengan asrama. “ “ Kalau begitu mulai besok sore, Ambu antar Zainab mengaji di rumah Ustad Abu Bakar. Nanti pulangnya biar Mama Tua yang jemput. Sebagai seorang muslimah yang ingin dicintai Allah dan RasulNya Zainab harus bisa mengaji dan sholat. Kalau kita tidak sholat, tidak mengaji dan puasa Allah akan sangat marah. Apalagi Zainab sudah akil balik jadi hukumnya wajib untuk selalu melaksanakan ibadah puasa dan sholat. Kalau kita punya iman orang – orang kafir tidak akan bisa membodohi kita. Zainab di sekolah belajar sejarah kan? Dulu bangsa kita dijajah bukan hanya karena masyarakat Indonesia saat itu bodoh dan terbelakang tetapi juga karena banyak orang musyrik. Kalau kita selalu beribadah dan memohon perlindungan Allah niscaya Dia akan selalu menjaga kita, melindungi dan menjauhkan kita dari kejahatan orang – orang kafir. Kalau iman kita kuat kita tidak akan mudah dipengaruhi orang – orang kafir. Kita akan tetap istikomah di jalan Allah. Banyak orang meninggalkan agama ini hanya karena silau oleh harta dunia yang nantinya akan menjadikan kita penghuni neraka. “ Zainab percaya kalau apa yang dikatakan Kakeknya benar. Dia sering melihat di televisi begitu banyak gadis – gadis seusianya yang bekerja di kota besar demi memenuhi keinginan orang tua mereka. Bahkan ada yang sengaja menjual bayinya agar bisa memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga. Dimana – mana uanglah yang berkuasa. Bahkan uang bisa digunakan untuk membeli keimanan seseorang. Seperti beberapa tetangganya yang menikah dengan perempuan Jawa. Di Jawa mereka berikrar masuk Islam dan menikah di Mesjid. Tetapi setelah pulang isterinya dipaksa masuk agamanya. Ada yang kuat imannya dan memilih pulang ke kampung halamannya. Tetapi ada juga yang dengan ikhlas memurtadkan diribegitu melihat harta benda suaminya. Penduduk asli Tanah Marapu ini memang kebanyakan turunan raja – raja Sumba zaman dulu. Mereka memiliki tanah ribuan hektar dan binatang ternak seperti sapi, kuda dan si kaki pendek ( babi ) yang kadang dibiarkan saja berkeliaran di padang tanpa khawatir ada yang akan mencurinya. Siapa yang berani mencuri binatang ternak milik orang – orang terpandang? Keluarga yang memiliki banyak anak perempuan dikategorikan sebagai keluarga kaya. Sebab anak perempuan adalah lumbung emas bagi keluarganya. Biaya melamar atau lebih dikenal dengan istilah bayar belis seorang anak gadis harus sama dengan Ibunya dulu. Bila dulu sang Ibu dilamar dengan empat ekor kuda maka anaknyapun demikian. Jika tidak sesuai maka akan ditolak atau sang pria kawin masuk. Maksudnya dia tinggal di rumah isterinya namun tidak mempunyai hak apa – apa atas isteri dan anaknya. Kecuali bila belisnya telah sesuai. Makanya kebanyakan pemuda yang tak punya modal lebih memilih menikah dengan gadis dari suku yang lain. Di pulau Sumba ini orang yang miskin bisa jadi kaya karena anak perempuannya. Namun sebaliknya orang yang kaya bisa jadi melarat karena anak laki – lakinya menikah dengan perempuan Sumba atau Sabu. Zainab merasa bersyukur karena dia bukan asli orang Sumba atau Sabu. Dia lahir di Sumba, ayahnya orang Ende tetapi Ibunya orang Sabu yang juga berdarah Ende. Alhamdulillah, walaupun orang Sabu asli Neneknya tidak menuntut uang yang banyak ketika ayahnya datang melamar Ibunya. Pemikiran orang tua zaman dulu yang paling utama adalah kebahagiaan anaknya. Harta bisa dicari namun kebahagiaan hadir dari dalam hati seseorang. Tidak seperti orang tua zaman sekarang bila yang datang melamar pemuda miskin maka berbagai alasanpun dipakai. Belum cukup umur atau kami masih sanggup menjaga dan memberi makan anak kami adalah salah satu alasan klise yang sering dilontarkan. Namun ketika sang anak sudah hamil baru mereka tahu kalau anaknya sudah kelebihan umur dan mereka tak bisa menjaga anaknya dengan baik. Keluargapun saling salah menyalahkan. Keputusan terakhir merekapun dinikahkan. Padahal dalam agama Islam dilarang menikahkan perempuan yang sudah hamil duluan. Kehormatan keluarga dijadikan alasan utamanya dan melupakan syariat Islam. Padahal sebelumya kesenangan keluarga untuk mendapatkan uang yang banyak lebih diutamakan sehingga saat dilamar secara baik – baik masih saja ditolak. Sikap yang patut ditiru oleh orang – orang yang ingin merasakan panasnya api neraka Allah. Kakek Hamid sangat senang karena Zainab cucu pertamanya yang terkenal nakal dan pembangkang sekarang mau belajar ngaji dan sholat. Setiap sore sebelum ke pasar Kakek Hamid selalu mengantar cucu kesayangannya itu ke TPA. Mereka berdua naik sepeda menyusuri jembatan papan yang menghubungkan antara desa tempat tinggal Kakek Hamid dan Ustad Abu Bakar. Diminggu pertama Zainab masih diantar oleh Kakek Hamid dan dijemput Nenek Halimah. Setelah mendapatkan seorang teman yang kebetulan sekampung dengannya Zainabpun tak mau lagi diantar jemput. Memang dia masih sedikit susah berkomunikasi dengan teman – temannya karena cara bicaranya yang masih mencampur bahasa Ende dengan bahasa Indonesia. Namun dia tak kehilangan akal, kadang kala dia menggunakan bahasa isyarat dengan mereka. Zainab mengerti apa yang dikatakan guru, teman – teman dan orang – orang disekitarnya. Masalahnya dia belum bisa sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia. Makanya kadang kala kata – katanya rancu membuat lawan bicaranya bingung. Beruntug teman – temannya mengerti akan kesulitan yang dia hadapi. Mereka malah senang dan lucu bila mendengar Zainab bicara. Bahkan ada yang minta diajari bahasa Ende. Zainab tak mau mengajari mereka dengan gratis. Dia ikut meminta mereka mengajarinya bahasa Sumba dan Sabu. Memiliki teman – teman baru yang berbeda suku degannya walaupun ada dalam satu propinsi NTT, membuat Zainab betah tinggal bersama Kakek dan Nenekya. Dia tak pernah lagi menangis minta pulang ke Ende. Bahkan disetiap libur kenaikan kelaspun dia hanya pulang selama seminggu. Zainab merasa sangat bahagia tinggal bersama Kakek dan Neneknya. Terutama Kakeknya yang sangat memanjakannya. Mereka selalu sholat berjama’ah di rumah. Sesuatu yang tidak pernah dilakukannya saat bersama kedua orang tuanya. Tidak pernah sekalipun Kakeknya meninggalkan sholat. Kemarinpun saat tubuhnya terbaring lemah tak berdaya karena penyakit liver yang dideritanya, lelaki separuh baya itu tetap sholat dengan bantuan isterinya. Perhatian dan kasih sayang mereka begitu besar padanya. Ketika dia sedang belajar atau mengaji, Nenek selalu menemaninya. Diapun selalu tidur bersama Neneknya sehingga bila terjaga di malam hari dia tidak lagi merasa takut. Meskipun rumah tempat tinggal mereka sudah berlubang dimana – mana hidup mereka bertiga tetap bahagia. Setiap subuh Zainab selalu bangun bersama Kakeknya melihat bintang fajar lalu kemudian sholat subuh bersama. Biasanya sehabis sholat subuh Kakeknya selalu berdo’a dan wirid. Zainab paling suka ketika Kakeknya melafadzkan ‘ Ya hayyu ya qoyyum ahya qulub tahya washlihlana ‘amal fiddien waladunya ‘. Walaupun tak mengerti apa artinya entah kenapa jantungnya selalu berdegup kencang. Ada rasa aneh yang dia sendiri tak tahu apa. Setiap hari setelah selesai sholat subuh Kakek Hamid pergi ke pasar ikan untuk menjual ikan yang dibelinya dari nelayan yang punya perahu. Tidak pernah seharipun Kakeknya libur ke pasar. “ Kalau Bapak Tua tidak pergi pasar nanti kita makan apa? “ Begitu alasan yang selalu dilontarkannya bila Zainab menyuruhnya istirahat sehari saja. “ Tetapi Ambukan sudah tua dan sakit – sakit nanti kalau Ambu sakit di pasar bagaimana? Lebih baik sekarang Ambu istrahat saja dulu di rumah. Ambukan baru sebulan keluar dari rumah sakit. Luka bekas operasi itu belum sembuh betul. “ “ Ambu sekarang sudah sehat dan bisa pergi jual ikan kembali. Kalau terlalu lama tidak pergi pasar nanti perahu yang baru kita beli dicuri orang. Insya Allah Ambu tidak akan sakit lagi bila kamu selalu mendo’akan Ambu disetiap sujud terakhirmu. Do’a cucu yang solehah, insya Allah akan diijabah. “ “ Benarkah? “ Mata Zainab berbinar – binar penuh harapan. Begitu sayangnya dia pada Kakeknya sehingga dia begitu takut kalau suatu hari nanti lelaki tua yang penuh cinta itu akan pergi meninggalkannya. Kata – kata Kakeknya membuat harapannya kalau suatu hari nanti Kakeknya akan kembali sehat tumbuh kembali. Setiap akhir sujud dalam sholatnya baik wajib maupun sunnah dia selalu memohon pada Allah agar Kakeknya tidak sakit. Agar Kakeknya selalu diberi kesehatan dan dijauhkan dari segala marabahaya. “ Ya Allah, jaga dan lindungilah Ambu jo. Jangan kasih Ambu penyakit lagi. Kasihan Ambu. Kalau Ambu sakit siapa yang cari makan buat kami? Baba dengan Inne tidak pernah lagi kirim uang buat saya. Kalau Ambu tidak ke pasar dan tidak ada uang saya tidak bisa beli buku dan pena. Kami juga tidak punya uang buat bawa Ambu ke rumah sakit. Ya Allah, tiada tempat aku meminta dan memohon perlindungan selain hanya ke padaMu. Istajib do’a ana ya Allah. Aamiin...” Manusia boleh berencana namun Allah yang menentukan hasil akhirnya. Apakah sesuai dengan harapan kita atau tidak semuanya terserah padanya. Allah lebih tahu mana yang terbaik buat hambaNya. Do’a yang dipanjatkan Zainab bukannya tak diijabah Allah tetapi mungkin Allah punya rencana yang lebih indah buat Kakeknya. Siangnya sepulang sekolah ada banyak orang di rumahnya. Wajahnya langsug memucat bayangan Kakek Hamid bermain di benaknya. “ Assalamu’alaykum, Ambu... Ambu....” Zainab memanggil – manggil Neneknya. Dia tak peduli dengan orang – orang yag berdiri di depan pintu rumahnya. Didalam Nenek Hamid sedang menangis sambil memangku kepala Kakek Hamid. Zainab memeluk tubuh Kakeknya sambil menangis. “ Ambu kenapa? Siapa yang buat Ambu begini?” Tanya Zainab diantara isak tangisnya. “ Tadi pagi Ambu bilang sudah sehat. Terus kenapa Ambu sakit lagi? Ambu bohong sama saya dengan Ambu perempuan. “ “ Kamu punya Bapak Tua tadi pagi pergi balik perahunya yang terbalik gara – gara dihantam ombak. Itu perahu berat sekali makanya benang jahitannya langsung terlepas. Kami tidak lihat makanya kami tidak bantu. “ Kata Pak sholeh salah satu nelayan yang biasa berjualan ikan disamping Kakeknya. “ Lalu sekarang bagaimana sudah? “ Zainab menatap wajah Neneknya bingung. Nenek Halimah hanya menggelengkan kepalanya. Kedua Nenek dan cucu itu hanya bisa pasrah pada nasib. Pasrah pada keadaan. Ingin rasanya membawa Kakek Hamid ke rumah sakit, tapi uang darimana? Jamkesmas pun tak ada. Mau minta tolong pada saudara tetapi sama saja dengan bohong. Kondisi merekapun sama. Sama – sama miskin. Kadang kala dia bertanya – tanya sendiri apakah memang sudah takdir kalau keluarganya miskin? Rasanya sangat menyedihkan melihat keadaan Kakeknya yang terbaring sakit tanpa dia bisa melakukan sesuatu yang berarti. Setiap kali menyuapkan bubur cair ke mulut Kakeknya Zainab tak kuasa menahan kesedihannya. Bagaimana bisa sembuh kalau makanannya tak bergizi? Kedua orang tuanya bisa datang karena berhutang pada tetangga. Seringkali Mamanya berhutang beras di kios tetangga agar mereka bisa makan. Bapaknya setiap hari duduk termenung menyesali diri karena tak bisa berbuat apa – apa untuk Ayah mertuanya. Setiap hendak berangkat ke sekolah Zainab merasa kedua kakinya begitu berat untuk melangkah. Tak ada lagi semangat untuk menuntut ilmu. Semangatnya seolah ikut terbaring sakit di ranjang bambu tempat Kakeknya terbaring lemah. Diapun jadi malas mengaji dan sholat. “ Allah sangat kejam sama Ambu. Padahal Ambu selau sholat lima waktu. Ambu selalu puasa dan pergi sholat taraweh walaupun mesjidnya jauh. Ambu selalu baik sama tetangga dan memberi mereka ikan gratis. Tetapi kenapa Allah begitu kejam membuat Ambu menderita sakit seperti ini. Ambu sayanainab sholat dan mengaji? Mulai sekarang Zainab tidak mau lagi sholat, puasa dan mengaji. “ “ Astaghfirullahaladziem, Zainab kamu tidak boleh bicara seperti itu. Hidup itu harus ikhlas. Apapun yang Allah berikan harus kita syukuri. Allah tidak akan menguji hambaNya diluar batas kemampuan kita. Allah itu Maha Cinta. Kalau kita ingin dicintai Allah kita harus menyerahkan diri kita seutuhnya kepada Allah Swt. Hidup ini tidak akan berakhir sampai disini saja. Masih ada kehidupan kedua di Yaumil akhir nanti. Biarlah di dunia kita hidup menderita dalam kemiskinan asalkan di akherat nanti hidup kita bahagia dalam Jannah Allah. Harta memang penting dalam hidup manusia. Tetapi siapa bilang orang yang banyak harta itu hidupnya bahagia? Harta tidak bisa menjamin kebahagiaan seseorang. Kadang kala harta bisa menjadi petaka dalam hidup kita. Percuma kita bergelimangan harta bila harta itu akan menjadi kayu bakar di neraka nanti bila kita tidak bisa menggunakannya untuk amal jariah. Kalau nanti kamu sudah dewasa Kakek punya satu pesan buat kamu jangan melihat seseorang hanya dari wajah, penampilan dan hartanya. Lihat isi hatinya. Apakah dia beriman atau tidak. Percuma agamanya Islam bila dia tak beriman. Ambu yakin, insya Allah hidupmu akan bahagia dunia akherat. Sekarang mungkin kamu berfikir kalau hidupmu sangat menderita. Tetapi sebenarnya masih banyak manusia di dunia ini yang hidupnya lebih menderita dari kita. Yang hidupnya lebih memprihatinkan. Semua manusia terlahir dalam keadaan telanjang, itu membuktikan kalau Allah Maha Adil. Allah tidak pernah pilih kasih. Semuanya sama yang membedakan hanyalah keimanan dan ketakwaan kita sebagai seorang hamba. Bukannya harta. Orang bisa kaya karena usaha. Usahanya halal atau haram hanya Allah yang tahu. ” Baca Sambungannya : 1.Bintang Fajarku Part. I 2.Bintang Fajarku Part. II PROFIL PENULIS Nama : Siti Fatimah Binti Jafar Alamat : MTsN. Kamalaputi Jln. Sultan Agung no. 36. Waingapu Sumba Timur NTT Facebook : shifa jafar

Langit kemarau

Langit Kemarau Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin
Langit Kemarau Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin LANGIT KEMARAU Cerpen Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin Sungguh, aku kagum sekali padanya. Dia yang tak pernah kasar walau hatinya sedang marah, dia yang tak pernah bosan walau hanya sebagai pendengar setiap keluh kesahku, dia yang selalu berusaha mengerti apa yang aku mau. Dia yang selalu peduli dengan kondisi kesehatanku. Ya, dia memang selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Dia bernama Ulinnuha, lelaki yang usianya terpaut tiga tahun lebih tua dariku. Aku biasa memanggilnya Mas Ulin. Dia begitu baik padaku, kelewat baik malah. Aku bahkan belum pernah berjumpa dengan laki-laki yang sebaik dia. Jujur, aku tak ingat pasti kapan tepatnya rasa ini bermula. Entahlah, aku benar-benar tak menyadarinya. Cinta yang datang tanpa kusadari, perlahan mulai tumbuh dan bersemi tanpa bisa kucegah lagi. Hmm mungkin aku benar-benar jatuh cinta kepadanya, ataukah sekedar rasa simpati yang membingungkan? Aku sendiri tak mampu membedakannya. Yang jelas, ada seonggok rindu jika sehari saja tak kudengar suaranya, ada sebersit rasa sesak di hati jika melihat gadis lain mengagumi dirinya di depanku. “Kau pernah jatuh cinta?” kala itu iseng-iseng aku menanyainya. Hehehehehe, dia tertawa menatapku, kemudian berucap, “Tentu saja, aku masih manusia. Namun kalau aku jatuh cinta, apa iya aku harus mengumbarnya pada khalayak ramai sehingga semua orang bisa melihatnya? Ataukah harus kutulis dalam statusku di jejaring sosial agar semua orang tahu? Tentu saja tidak. Aku memilih untuk jatuh cinta dengan caraku sendiri. Tanpa kuucap, bukankah itu tetap cinta? Takkan berkurang kadarnya.” Jawabnya tersenyum. “Kau tak ingin menikah?” “Kata siapa? Tentu saja ingin, tapi bukan sekarang, tidak secepat itu, dan tidak semudah itu. Belum waktunya.” “Kapan waktu yang tepat menurutmu?” tanyaku menyelidik. “Hmm...mungkin tiga tahun lagi.” Katanya setengah tak yakin. “Oh, begitu? Mengapa?” tanyaku penasaran. “Aku masih belum yakin.” “Kenapa?” desakku lagi. “Tidak apa-apa, yang jelas belum ada calonnya.” ucapnya tertawa. “Aku mau.” Jawabku cepat. Mas Ulinnuha tercengang menatapku seolah tak percaya.... "Ine, memangnya kau mau menikah dengan laki-laki jelek sepertiku?" tanyanya merendah. "Aku suka yang jelek-jelek sepertimu." "Aku tak sepadan denganmu." ucapnya lagi. "Aku gak peduli." "Aku tak se-kaya dirimu." "Pokoknya aku gak peduli." "Aku tak sepintar dirimu." "Ah, kau ini. Sudah kubilang, aku gak peduli." Jawabku mulai kesal. "Lalu apa yang kau pedulikan?" tanyanya menatapku. "Seandainya..," aku mulai berangan-angan. "Sssttt...jangan berandai-andai, karena aku memiliki banyak realita yang kelak akan kusuguhkan hanya untukmu." Percakapan terhenti, lagi-lagi dia membuat statement yang sulit untuk kumengerti. Entah apa maksudnya. Dibilang dekat tapi serasa jauh, dibilang jauh enggak juga. Begitulah, status kami memang tak jelas. Sampai setelah merampungkan kuliahku, aku memutuskan untuk kembali ke kampung halamanku di Lampung. Saat itu kami benar-benar berpisah. Aku pulang dengan menggenggam sebuah mimpi yang masih kusimpan rapat-rapat dalam hatiku. Semuanya tentang dia. Hari-hari pertama aku dirumah kuisi dengan banyak melamun, menangis, bahkan makan sering terlupakan, dan sakit sudah menjadi langganan hampir tiap Minggu. Sungguh hari-hari yang amat menyedihkan bagiku. Di tahun ke-satu pasca kepulanganku, aku masih menunggunya dengan setia. Berharap semoga ia segera datang menjemputku. Namun ternyata yang ditunggu tak jua datang. Tahun ke-dua aku masih dengan harapan yang sama, menanti sebuah kepastian darinya. "Assalamu'alaikum." Terdengar suara salam dari balik pintu. Dari halaman luar telah berdiri seorang laki-laki tampan tersenyum menatapku. “Wa’alaikumsalam.” Aku terkejut. Kehadirannya melemparkan memoriku ke masa lalu, Mas Rafa, cinta pertamaku, teman satu SMA. Cinta. Ya, dulu aku pernah mencintainya, sangat mencintainya malah. Cinta yang tanpa kuminta dan kusadari, yang akhirnya berujung pada sebuah permusuhan. Saling benci, saling menyalahkan dan saling enggan berkomunikasi, karena ia telah berbuat satu kesalahan yang tak mungkin lagi ku maafkan. Semuanya bermula sejak ia masuk ke dalam sebuah organisasi yang telah membesarkan namanya, organisasi yang menjadikan ia sebagai manusia paling populer di sekolah, organisasi yang mempertemukan ia dengan Rindi, gadis centil yang telah membuat Mas Rafa begitu tega mengusir paksa aku dari hatinya. Ya, dialah sosok yang paling patut disalahkan atas berakhirnya hubungan kami. Sungguh waktu yang dulu sekali, aku bahkan sudah mengubur dalam-dalam kenangan pahit itu. Sepertinya, sudah cukup enam tahun yang lalu ia mengusir dan membunuhku dari hatinya. Dan sejak saat itu, hampir seluruh waktu dilewatkannya tanpaku, bukannya aku yang tak ada ditempat itu, melainkan dia yang tak pernah mau menanyakan kabarku, jangankan menanyakan kabar, sekedar menyapaku saja tak pernah ia lakukan. Lalu kini, ia datang kembali dengan begitu tiba-tiba, entah apa maksudnya. Untuk sesaat kami terdiam. Sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Hingga akhirnya ia memberanikan diri berucap, “Ine, maafkan salahku di masa lalu.” Ucapnya pelan. “Sudahlah, anggap saja itu tak pernah terjadi.” Jawabku tanpa menatapnya. Hatiku seakan kembali bernostalgia tentang rasa sakit itu, rasa sakit yang pernah ia torehkan enam tahun yang lalu kini kembali menyeruak bagai luka baru. “Aku ingin bersahabat lagi denganmu.” ucapnya serius. Aku mendongak, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. Lamat-lamat aku menatapnya, kulihat sepertinya kini ia sudah benar-benar berubah. Ternyata rentang waktu enam tahun membuatnya menyadari kesalahannya dimasa lalu. Lalu setelah pertemuan sore itu, kami kembali intens berkomunikasi. Jujur, kehadirannya perlahan menumbuhkan kembali rasa cinta yang dulu sempat terkubur oleh tumpukan kebencian yang terlanjur kualamatkan padanya. Cinta itu kini mulai bersemi kembali tanpa bisa kucegah lagi. Begitulah, sampai akhirnya Mas Rafa mengutarakan niatnya melamarku. Meski awalnya aku tak yakin dengan perasaanku sendiri, tapi keluarga serta hampir semua sahabat-sahabatku menyarankanku untuk menerimanya kembali. Bukankah setiap orang pernah melakukan kesalahan? Jadi tak ada salahnya memberikan kesempatan kedua untuknya. Toh selama itu dia benar-benar menunjukkan penyesalannya dan berjanji untuk tidak mengulangi kebodohannya lagi. “Kau benar-benar tak waras, Ine. Buang-buang waktu saja, sudah lupakan saja Mas Ulin, seperti tidak ada laki-laki lain saja, terima saja lamaran Mas Rafa itu, seenggaknya dia lebih pasti. Toh selama ini Mas Ulin tak pernah jujur tentang perasaannya padamu. Bagaimana jika ternyata dia sudah mencintai gadis lain selain dirimu?” komentar sahabat-sahabatku. Aku diam sejenak, mencoba meresapi nasehat itu. Dan sepertinya memang benar, ini sudah memasuki awal tahun ketiga, kurasa sudah cukup bagiku untuk mengakui segala kekalahanku. Rasanya, terlalu bodoh jika aku masih saja mengharapkan dia yang tanpa kepastian. Meski aku tak yakin kalau aku sudah benar-benar mencintai Mas Rafa kembali. Tapi seenggaknya aku bisa melihat niat tulusnya. Begitulah, sampai akhirnya sebulan kemudian aku benar-benar bertemu lagi dengannya, bertemu dengan sosok yang kucintai, Mas Ulin!! Sungguh sebuah pertemuan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Pertemuan yang sangat mengharukan. Aku masih dengan perasaan yang sama. Hanya saja kini aku bukanlah aku yang dulu lagi. Aku sudah bersama Mas Rafa, setelah keputusan yang ku ambil tepat sebulan yang lalu. “Ine, maukah kau menikah denganku?” pintanya mengejutkanku sangat. Duggg, hatiku bergemuruh. Tawaran itu, kenapa baru sekarang ia mengatakannya? Keputusan yang sudah terlambat, seharusnya ia mengatakannya sejak dulu. Ah, mengapa tiba-tiba perasaanku jadi kacau begini? Ya Allah, aku harus bagaimana? Aku mencintainya, tapi aku juga tak mau mengkhianati Mas Rafa! Perasaanku campur aduk. Perih. Kenapa? Kenapa baru sekarang ia katakan semua ini?? Andai saja aku tahu ia akan datang, takkan kubiarkan Mas Rafa masuk dan membangun kembali puing-puing cinta dalam hatiku!! Sekarang, apa yang harus aku lakukan untuk membuatnya mengerti kondisiku? Diam untuk mengubur kenangan, ah atau malah menguatkan kenangan? “Aku milik orang lain!" jawabku tegas, berusaha menyamarkan perasaanku yang sebenarnya. Dia menatapku tak percaya, “Ine, kau sedang bercanda kan? Ucapnya sambil tertawa. "Maafkan aku, Mas! Sungguh, kini hatiku sudah terlanjur berselancar pada hati seseorang." Ucapku sambil menunduk dalam. Tawa itu mendadak terhenti, kini ia serius menatapku, “Aku yakin kau tidak sedang benar-benar mencintainya. Bukankah dulu kau mencintaiku?” protesnya setengah tak percaya. “Maafkan aku Mas, maafkan aku yang tak sabar menunggumu, sehingga aku sudah terlanjur menerima orang lain.” Kataku lagi. “Aku hanya ingin memastikan bahwa apa yang kuyakini selama ini memang benar adanya, bahwasannya garis hidup yang telah Tuhan takdirkan untukku, yaitu kamu. Namun kini justru kenyataan pahit yang kudapati bahwa kini kau sudah bersama orang lain.” Akunya pelan. Aku tertunduk, rasa bersalah itu kembali menjalar. “Ine, aku mohon kembalilah kepadaku.” Aku menggeleng, "Tapi itu tak mungkin Mas, sekarang aku milik Mas Rafa. Lagipula bulan depan kami akan menikah." Akhirnya terlontar juga kata-kata yang telah kususun sejak tadi. Ucapanku membuatnya terperangah. Dia menatapku tajam. Sinar matanya menyiratkan luka hati yang dalam. “Aku sudah tak sanggup lagi berdiri tegak.” Akunya lirih. Aku kembali menggeleng, “Jangan pernah bersedih karena kekuatan yang akan selalu kupinta kepada Tuhan untukmu. Mas, aku percaya kau orang baik, dan kau pantas mendapatkan yang terbaik. Untuk ukuran orang se-sholeh dirimu, aku yakin Alloh sudah mempersiapkan wanita terbaik yang Ia pilihkan untukmu kelak, percayalah.” Ia mengangguk pelan dengan mata berkaca-kaca. “Semoga kau bahagia bersamanya.” Ucapnya lirih, menahan air mata yang hampir tumpah, lalu meninggalkanku yang mulai terisak. Hatiku sesak, ada rasa sesal yang tiba-tiba menyeruak tanpa kendali. “Ah, seandainya kau katakan itu lebih dulu, Mas. Aku pasti masih setia menunggumu.” Gumamku lirih. Kuusap mata, Perih. Entah sudah berapa lama aku melamun, mengenang pertemuan yang menyakitkan itu. “Ine, kenapa masih disini? Ayo keluarlah, akad akan segera dimulai.” Ibuku melongok dari balik pintu kamar. Aku tak sanggup menjawab apa-apa selain hanya bisa mengangguk lemah, menyusul langkah beliau. Usai akad, aku memandang jauh para tamu undangan yang hadir menyaksikan hari bersejarah dalam hidup kami, berusaha mempercayai apa yang sudah terjadi, berusaha mempercayai bahwa laki-laki yang kini duduk bersanding denganku adalah suamiku. Lalu, hanya kepasrahan yang bisa kuucapkan pada-Nya, semoga inilah jalan terbaik yang Tuhan pilihkan untukku. “Selamat ya Ne, semoga jadi keluarga ‘SaMaRa’. Jujur, aku sempat berfikir, dulu ku kira kau sama Mas Ulinnuha,” komentar Makaila, sahabatku. “Kami hanya bersahabat.” ucapku mencoba tersenyum. Lalu, saat pesta telah usai, air mataku kembali menetes, tetesan yang kubendung dengan senyuman sepanjang pesta resepsi kini benar-benar mengalir deras tanpa bisa kutahan lagi. “Ine, kau kenapa sayang?” bisik seseorang lembut, aku menoleh ke arah suara itu. “Mengapa menangis? Apakah kau sakit?” tanya Mas Rafa menyeka lembut buliran air mataku dengan ibu jarinya. Tampak sekali kekhawatiran menyelimuti wajah tampannya. Aku menggeleng pelan, “Tidak apa, aku hanya sedikit lelah.” Jawabku lirih, mencoba tersenyum, berusaha menyamarkan perasaanku yang sesungguhnya. “Oh, syukurlah.” Jawabnya lega. “Kalau kau lelah, istirahat saja dulu.” Tawarnya dengan ramah, ia mengambil jemariku, menggenggamnya erat. Mas Rafa terpaku, ia kini tersenyum menatapku, tapi kenapa aku masih saja memikirkan Mas Ulin? Oh tidak, tidak!! Tidak seharusnya aku begini. Dia hanya bagian dari masa laluku! Masa lalu yang seharusnya aku kubur dalam-dalam. Dan seharusnya kini hanya Mas Rafa yang ada di pikiran serta hatiku, bukan lelaki lain. Dosa hukumnya kalau saat ini masih saja aku terpikir padanya. “Astaghfirullah,” kuucapkan istighfar berkali-kali dalam hati. Aku berdiri, melangkah untuk mengambil air wudhu, kemudian kujalankan sholat sunnah dua rakaat bersamanya, bersama Mas Rafa, imamku kini. Seusai sholat, kembali setitik air mata menetes di pipiku. Namun kali ini aku tidak menangisinya. Aku menangis untuk diriku sendiri, aku menangisi hatiku yang lemah oleh takdir. Pintaku dalam doaku kini, semoga benih-benih cinta tetap bersemi dalam hatiku untuk Mas Rafa seorang, hingga maut memisahkan kami. Dan semoga diluar sana, Mas Ulin segera mendapatkan sosok wanita yang kelak bisa mengantarkan mimpinya menuju kebahagiaan dunia serta akhirat. Amiin. *TAMAT* PROFIL PENULIS Ulfatul Khadroh, TTL, Kebumen, 7 Maret 1991 Facebook : Ulzahrah Syiefaa Khozin

🌈 Pelangi Di Ujung Senja Part II

Pelangi Di Ujung Senja Part. II - Cerpen Remaja Islam
Pelangi Di Ujung Senja Part. II - Cerpen Remaja Islam PELANGI DI UJUNG SENJA PART. II Cerpen Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin Kami menikah di Masjid depan rumahku. Selanjutnya, sebuah acara kami gelar secara sederhana dan khidmat. Disaksikan oleh kerabat, sahabat, serta tetangga kami yang hadir. Awalnya hampir semua sahabat-sahabatku menentang keputusanku, pasalnya dari dulu banyak gadis-gadis cantik yang menaruh kagum padaku. Bukannya aku sombong, namun begitulah kenyataannya. Sejak masih SMA hingga kuliah di Mesir, entah sudah berapa puluh gadis yang secara terang-terangan mengutarakan perasaannya padaku. Namun semuanya kutolak dengan halus, padahal hampir semuanya masuk dalam kriteria gadis idamanku; sholekhah, lembut, sabar dan sederhana, pengetahuan agamanya tak perlu diragukan lagi, mereka semua santri unggulan. Kalau ditanya alasannya apa, aku juga tak tahu jawabnya. Mungkin memang mereka bukan jodohku. Lalu, mengapa hatiku justru terpikat pada sosok Vania? Gadis yang seolah baru kemaren sore aku mengenalnya? Apalagi mengingat masa lalu Vania yang kelam, ditambah pengetahuan agamanya yang masih sangat dangkal membuat sahabat-sahabatku menyangsikan akhlak Vania. Tapi biarlah, aku tetap pada keputusanku menikahinya. Dalam resepsiku, Hanum tak bisa hadir. Dia hanya menitipkan sebuah kado untukku. Aku tidak tahu entah sampai kapan dia menjauhiku. Di kantor dia jadi uring-uringan. Setiap kesalahan kecil yang kubuat, sengaja dia besar-besarkan. Mendadak dia memutuskan untuk pindah divisi, yang semula satu divisi bersamaku kini beralih pada divisi lainnya. Padahal aku ingat betul, dulu waktu aku kembali dari Mesir dan bekerja dikantor yang dikelola ayahku serta ayahnya, dia sendiri yang meminta ayahnya menaruhku satu divisi dengannya. Tapi, ya sudahlah. Semoga Alloh segera membukakan pintu hatinya untuk memaafkanku. Sejak kecil kami sudah bersahabat, dan aku tak ingin persahabatan kami berakhir menjadi saling membenci satu sama lain. Ternyata lagi-lagi Alloh mendengar doaku. Lambat laun, Hanum sudah mulai mau menyapaku kembali. Dia bahkan sesekali main ketempatku sambil membawakan makanan kesukaan istriku, kala itu Vania sedang ngidam. *** Aku mengeliat dibalik selimut. Udara pagi yang dingin membuatku masih sedikit malas untuk bangun. Namun lamat-lamat kudengar suara lembut istriku membangunkanku untuk segera bangkit. “Mas, sudah hampir shubuh, ayo bangun.” Bisiknya sambil mengguncang-guncangkan bahuku. Perlahan aku mulai membuka mata. Istriku sudah rapi dan wangi. Ia tersenyum kearahku, dan aku membalas senyumnya. Ia menyodorkan handuk padaku. Kulirik jam dinding, sudah jam setengah empat pagi!! Kuusir segera rasa malas yang masih hinggap dalam diriku, bergegas menuju kamar mandi. Sebelum beranjak, kulihat Vania sibuk menggelar dua sajadah untuk diriku dan dirinya. Rutinitas seperti ini sudah kujalani sejak Vania menjadi istriku. Vania memang istri yang baik. Bahkan aku tak pernah menyangka bahwa ia ternyata jauh lebih baik dari ketika belum menjadi istriku. Meski ia tak sepandai dan sealim wanita-wanita lain yang pernah dekat denganku, tapi ia bisa membuatku merasa damai disisinya. Aku benar-benar beruntung memilikinya. “Mas, jika anak kita lahir kelak, yang mana yang lebih kau inginkan? Anak laki-laki atau perempuan?” tanyanya kala itu. “Terserah Alloh saja, yang penting sehat.” ucapku tersenyum. “Ayo, Mas Rafi pilih mana? Laki-laki atau perempuan?” rengeknya manja. “Kalau kamu?” tanyaku balik. “Hmm...aku ingin punya anak laki-laki.” “Kenapa?” tanyaku heran. “Aku ingin dia pandai sepertimu, pandai membaca al-qur’an sepertimu, sanggup menjadi seorang imam sepertimu, agar suatu saat jika Mas Rafi sedang tidak berada dirumah, dia bisa mengimami sholatku.” Ucapnya jujur. Aku tersenyum mendengar alasannya, sebuah alasan yang sangat sederhana namun begitu mulia. Semoga apa yang ia impikan kelak bisa terwujud. “Amin.” Balasku tersenyum menatapnya. *** Memasuki bulan kelima kehamilannya, aku sempat menaruh curiga padanya. Vania sering terlihat sakit perut. Namun dia seperti sengaja menyembunyikan rasa sakitnya jika berada didepanku. Aku sering mengajaknya periksa ke dokter, namun selalu dia tolak dengan halus. Dia bersikeras untuk istirahat dulu saja. Pernah suatu ketika, setelah aku pulang dari kantor, tanpa sengaja kudapati setumpuk obat di salah satu laci lemari pakaiannya, ketika kutanyakan obat apa itu, dia mengatakan bahwa itu hanya vitamin untuk menjaga kandungannya. Belakangan kuketahui ternyata dia sering periksa ke dokter dengan ditemani ibunya. Dan ketika aku bertanya apa sakitnya, dia hanya tersenyum dan mengatakan bahwa sedikit kontraksi saat hamil itu hal yang wajar. Sampai akhirnya aku tahu sendiri penyakitnya. Ia terkena kanker servik. Dari awal kehamilan, dokter kandungannya sudah membujuknya untuk menggugurkan janin yang dikandungnya karena itu akan sangat berbahaya terhadap keselamatannya. Tapi dia tetap bersikeras untuk mempertahankan janinnya, meski dia harus bertaruh nyawa. Aku sangat menyesal kenapa aku baru mengetahuinya justru setelah bayi kami lahir. Semuanya sudah terlambat. Bayi laki-laki kami lahir dengan selamat pada jum’at dini hari, dan aku beri nama Zaidan Imam Akbar. Aku masih ingat senyum bahagianya saat melihatku mengumandangkan adzan serta iqomat pada kedua telinga bayi kami. Saat itu terasa lengkap sudah kebahagiaan kami. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama, dua jam setelah proses persalinan itu, Vania mengalami pendarahan hebat yang membuatnya jatuh koma. Tepat tiga hari sejak ia terbaring koma, aku, Hanum juga Akbar bayi kecilku, mendapat ijin untuk menemuinya di ruang ICCU. Kami diam membisu disisi ranjangnya. Hanum meletakkan Akbar disisi Vania, seolah ingin membangunkan Vania dari tidur panjangnya. Detik demi detik berlalu, masih tak ada reaksi. Hanya alunan napas berhembus pelan, begitu lembut dan semayup. Aku masih melantunkan lafadz dzikir untuknya. Suasana tampak mencekam. Akbar mulai menangis, Hanum sibuk menenangkannya. Hingga akhirnya terdengar ada gumam lirih, “Akbar, jangan menangis nak.” Bisiknya pelan. Sontak aku dan Hanum menatap kearah Vania. Sepasang mata sembab itu kini mulai terbuka. Bibirnya yang pucat keunguan menyungging senyum tipis kearah kami. “Alhamdulillah, Vania....” aku mengambil jemarinya, menggenggam erat telapak tangannya serta menciumnya. “Mas, maafkan aku telah menyembunyikan sakitku ini darimu.” Ucapnya sedih. “Sayang, yang terpenting bagiku sekarang adalah kesembuhanmu.” jawabku tersenyum padanya. “Jika nanti aku harus pergi lebih dulu.....” imbuhnya dengan mata berkaca-kaca. “Ssstt, jangan berkata seperti itu, kamu harus kuat, Vania! Demi aku, juga demi anak kita. Kamu dan aku akan bersama-sama merawat serta mendidik Akbar sampai dia dewasa, kamu dulu pernah bilang kan? Kamu ingin punya anak laki-laki, agar ia bisa mengimamimu jika aku sedang tak berada dirumah? Menyaksikan ia tumbuh menjadi manusia dewasa yang berakhlakul karimah, seperti itu kan? Vania tersenyum menatapku, Kuambil kembali jemarinya, menggenggamnya erat-erat, seolah ingin mengalirkan hawa kehidupan pada wanita yang sangat kucintai. “Tapi aku harus bilang, jika aku pergi....” Vania berjuang keras untuk mengucapkan kata-demi katanya. Air matanya mulai mengalir deras di kedua pipinya. Dia menengok lemah kearah Hanum yang kini menggendong Akbar. Akbar kembali tertidur pulas dalam gendongannya. “Hanum, maafkan aku merebut Mas Rafi darimu.” “Kau tak pernah merebutnya dariku, Vania. Dia milikmu.” Jawab Hanum dengan mata berkaca-kaca. “Jika aku pergi nanti, aku titipkan suamiku serta anakku padamu.” Ucapnya lirih menatap lekat kearah Hanum. Seolah membuktikan keseriusan dari ucapannya itu. Tak kuasa lagi kutahan air mataku. Vania sepertinya sudah bisa memprediksi hidupnya, tubuhnya kian melemah. Kulihat ia menatapku dalam, seolah tak akan lagi sanggup menatapku lebih lama. Ia terlihat tenang dan pasrah, seperti sudah siap menghadap Sang Ilahi. Namun sayangnya aku tak bisa bersikap sama sepertinya. Aku tak sanggup membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi nantinya. Lalu, saat suaranya menjadi tidak jelas seperti menceracau, dengan hati hancur kubisikkan kalimat lembut di telinganya. Sementara itu, Hanum berlari keluar hendak meminta pertolongan. “Laa ilaahaillalloh, Muhammadurrosululloh.” bisikku lembut di telinganya. “Laa ila-ha illa---lloh, Muh....” Ucapnya terbata-bata. “Laa ilaahaillalloh, Muhammadurrosululloh.” Aku mengulangi. “Laa ila-ha illa---lloh, Mu-ham-ma.....” Ucapnya kian terbata-bata. ”Muhammadurrosululloh.” Tuntunku sambil menitikkan airmata. “Mu-ham-ma -dur-rosul-lu-lloh.” Ucapnya dengan suara melemah nyaris hilang. Lalu, tubuh Vania seketika terdiam kaku. Sepasang mata sembab itu kini tertutup. Bersamaan dengan sesungging senyum meleret dibibir pucatnya. “Vaniaaaa....!” teriakku tak tertahan. Kupeluk tubuhnya kuat-kuat, tak mau ku berpisah dengannya untuk selama-lamanya. “Bangun, ayo bangun sayang....,” bisikku lagi. Tak ada reaksi. Kabel-kabel yang mendeteksi detak jantungnya kini terhenti. Kuraba jemarinya. Dingin!! Disaat yang bersamaan, para dokter juga perawat segera sibuk memeriksa peralatan medis yang menempel di tubuh Vania, memeriksa detak jantungnya dengan alat perekam. Sementara itu, aku duduk terpaku di sisi ranjangnya, gemetar dan seolah masih belum percaya dengan apa yang sedang terjadi pada istriku, aku seperti sedang mimpi buruk. “Oh, Tuhan, lekas bangunkan aku dari mimpi buruk ini......” Para tim medis menatapku sambil menggeleng pelan, “Maaf pak Rafi, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi istri bapak sudah tidak bisa diselamatkan.” Ucap salah satu dari mereka. “Innalillahi wainna ilaihi rojiuun.” Bisikku pelan sambil menutupi mukaku dengan kedua telapak tanganku. Aku hanya bisa mengembalikan segalanya pada Alloh. Dia lah yang lebih berhak atas hidup istriku. Kucurahkan segala kesedihanku melebur bersama lantunan dzikirku untuknya. Tubuhku melemas, pandanganku kabur, Aku tak sanggup lagi menatap hidupku kedepan, seolah duniaku kini runtuh, hampa. Dan setelah itu semuanya tampak gelap. *** Suara sirine mengaum amat memilukan, amat menyayat hati. Ambulans yang membawa jenazah istriku perlahan mulai bergerak meninggalkan rumah kami. Segenap kerabat, tetangga serta sahabat kami tampak hadir mengantarkannya hingga ke pemakaman. Mereka tampak larut dalam kedukaan yang mendalam. Saat ambulans sudah sampai di gerbang pemakaman, aku melangkah lungkrah, nyaris pingsan, seolah belum begitu kuat mengangkat beban berat yang kini tengah menghimpitku. Ayahku serta ayah mertuaku memapahku menuju tempat peristirahatan terakhir wanita yang dua tahun terakhir mengisi hari-hariku. Prosesi pemakaman berjalan khusyu’ dan khidmat. Lantunan adzan dan iqomat memecahkan hening yang mengapung, memekak haru semua pelayat yang hadir, seolah mengingatkan bahwa kematian adalah sebuah keniscayaan. Kematian menjadi pengingat bahwa suatu saat prosesi seperti ini akan menimpa siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Tinggal bagaimana kita mempersiapkan diri kita dengan bekal yang cukup untuk menghadap-Nya. Aku masih terpaut dalam lantunan dzikirku, mencoba menguatkan hati yang kini remuk-redam. Hilir-mudik sahabat-sahabat kami menyalamiku serta menepuk-nepuk pundakku, seolah ingin memberi kekuatan padaku. Tatapan mataku masih nanar, antara sadar dan tidak. Hujan deras yang mengguyur sepanjang malam hingga siang tadi sudah mulai mereda, menyisakan gerimis yang masih renyai. Sekilas kutatap nun jauh ke ujung cakrawala. Matahari perlahan mulai menepi, pertanda senja mulai menyingsing. Diantara gerimis kecil itu, tampak sebuah pelangi terlukis sempurna dilatari langit kemuning. Pelangi itu membentuk lengkung indah bak pintu gerbang setengah jadi. Sungguh mampu merenyuhkan jiwa-jiwa yang rindu untuk kembali, kembali ke haribaan-Nya. Aku masih menengadah beberapa saat ke langit. ”Ah, benar-benar pelangi di ujung senja yang sangat cantik!” Bisikku dengan air mata yang kembali berlinang. “Sudahlah Nak, kita pulang yuk? Kau harus kuat, anakmu kini hanya bertumpu padamu.” bisik ibuku parau. Aku tak sanggup menjawab apa-apa selain hanya bisa mengangguk lemah. Kini, aku merasa separuh jiwaku telah hilang, ikut terkubur bersama jasad istriku. Kini takkan ada lagi senyum manisnya menghiasi hari-hariku, takkan ada lagi suara manjanya yang membuat letihku hilang tiada berbekas. Takkan ada lagi dia yang mengingatkanku untuk sholat diawal waktu, takkan ada pula dia yang tak pernah lupa mencium tanganku seusai sholat, ya takkan ada lagi. Vania kini telah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. “Vania, jika esok pagi, ketika aku bangun, tak lagi kutemukan senyum manismu menyapa seperti biasa, semoga bisa kutemukan senyum itu meski hanya dalam mimpiku, semoga kini kau sudah bahagia disisi-Nya.” Ucapku lirih sambil kuusap airmataku, mencoba bangkit dari sisi pusaranya. *TAMAT* Baca Sambungannya : 1.Pelangi Di Ujung Senja Part. I 2.Pelangi Di Ujung Senja Part. II PROFIL PENULIS Ulfatul khadroh, TTL : Kebumen, 7 Maret 1991 Facebook : Ulzahrah Syiefaa Khozin

🌈 Pelangi Di Ujung Senja Part 1

Pelangi Di Ujung Senja Part. I Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin Pelangi Di Ujung Senja Part. I Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin PELANGI DI UJUNG SENJA PART. I Cerpen Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin Namanya Stevania Elizabetha Putri, salah seorang pramugari cantik pada sebuah maskapai penerbangan ternama di tanah air. Vania, begitu sapaan akrabnya sehari-hari, dia merupakan sosok gadis metropolis yang digilai banyak kaum lelaki; cantik, langsing, tinggi, putih, mulus, gaul, modis, ngerti trend, atau apalah namanya. Perfect banget ya? Tapi bukan berarti alasanku mencintainya gara-gara itu tadi. Sama sekali bukan!! Justru sebaliknya. Aku sama sekali tidak mengutamakan kecantikan fisiknya, tapi aku suka kepribadiannya. Sejujurnya, cinta itu tidak semerta-merta datang begitu saja. Bahkan, pada hari pertama aku mengenalnya, masih terasa biasa-biasa saja, tak ada getaran layaknya orang yang sedang jatuh cinta pada pandangan pertama. Melihat penampilannya yang cenderung sexy, lihai menggoda mata kaum adam dengan model pakaiannya yang kelewat minim, ditambah balutan make up nya yang kurasa aneh, membuatku meliriknya saja risih. Apalagi sampai menikahinya. Sungguh tak pernah terbayangkan sebelumnya. Ya, dia bukan gadis yang sesuai kriteriaku. Namun, sekali lagi ini tak terlepas dari takdir-Nya. Hingga setelah aku mengenalnya lebih jauh, diam-diam hati yang semula biasa-biasa saja perlahan mulai tumbuh semacam rasa yang sulit untuk kujelaskan. Kini aku mulai mencintainya, benar-benar mencintainya. Ya, begitulah. Cinta memang terkadang begitu misterius. Pertemuanku dengannya berjalan begitu cepat, sungguh tak pernah kuduga sebelumnya. Kala itu aku tengah berada dalam sebuah pesawat yang akan mengantar kepulanganku menuju tanah air, kampung halaman yang selama lima tahun terakhir ini aku tinggalkan, tepatnya sejak keputusanku untuk mengambil study di universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir. Pesawat sudah mulai lepas landas sekitar setengah jam yang lalu, meski aku tak duduk tepat disamping jendela, aku tetap bisa menatap sinar pudar mentari yang timbul-tenggelam dari balik tumpukan awan yang mengapung. Sungguh pemandangan yang sangat menakjubkan. Aku kembali meneruskan buku bacaanku. Namun, ternyata mataku sudah mulai terasa lelah. Alih-alih ingin memejamkan mata sejenak, tiba-tiba saja salah seorang pramugari cantik datang menghampiriku. “Maaf mengganggu istirahat bapak, apakah ini dengan bapak Muhammad Rafi Farhan?” tanyanya ramah sambil mencocokkan nomor kursiku dengan secarik kertas yang dipegangnya. “Iya, saya sendiri. Ada apa ya?” “Kami mendapat laporan dari pihak maskapai, bahwa sewaktu pesawat ini hendak lepas landas, salah seorang petugas keamanan menemukan dompet anda di ruang transit.” Ujarnya sambil menyerahkan sebuah dompet padaku. “Oh ya? Terimakasih.” Ujarku kaget bercampur lega. “Kami mohon maaf tadi sempat membongkar dompet anda untuk mencari identitas pemiliknya.” “Iya, tidak apa-apa.” Ucapku tersenyum. “Hmm... Mas Rafi rupanya tinggal di daerah blok. O, Jalan Permai, Jakarta Pusat ya? Kebetulan rumah saya juga di daerah situ.” Tanyanya malu-malu, mengganti panggilan untukku yang semula “Bapak Rafi” menjadi ”Mas Rafi”. “Benarkah? Tepatnya dimana?” tanyaku pura-pura tertarik. Tapi sekali lagi ini hanya pura-pura, sungguh!! “Perum Indah Permai, blok. L, Jalan Permai, Jakarta Pusat.” Entah apa saja obrolan kami setelah itu, aku tak begitu ingat. Yang jelas, di akhir perkenalan itu, kami sempat bertukar nomor handphone! Nah, setelah itu kami jadi intens berkomunikasi, Vania sepertinya mulai menunjukkan ketertarikannya dengan Islam. Ia sering bertanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dunia Islam. Maklumlah, dia bukan berasal dari keluarga yang tergolong religius, ibunya menjadi seorang mu’alaf sejak menikah dengan ayahnya. Sementara itu, ayahnya pun belum sepenuhnya menjalankan syareat Islam secara utuh, istilahnya hanya Islam KTP saja. Hal itulah yang membuat aku merasa memiliki tanggungjawab untuk membimbingnya pemahaman agama yang lebih dalam. Ada jihad yang besar disitu, menuntun dia untuk lebih dekat pada-Nya. Jika sedang libur dari pekerjaannya, Vania sesekali bertandang kerumahku. Seperti pagi ini, pagi-pagi sekali Vania sudah bertamu. Aku tidak menyadari kedatangannya karena aku sedang serius bertadarus Al-qur’an di teras depan rumah. “Assalamu’alaikum.” Sebuah suara yang amat kukenali menyapa ramah, diikuti sesosok gadis cantik tersenyum menghampiriku. “Waalaikumsalam.” Balasku sambil kuhentikan tadarusku dan menatap dia yang kini berdiri tak jauh di depanku, lalu mempersilahkannya duduk. “Bacalah lagi, aku merasa damai mendengarnya.” Pintanya padaku. “Kau bisa membacanya sendiri.” Ucapku sambil tersenyum. “Aku tidak bisa.” Ucapnya pelan, ia tertunduk. “Mau aku ajari?” imbuhku lagi. “Tentu, dengan senang hati.” Balasnya dengan wajah berseri-seri. “Baiklah, kau bisa belajar kapanpun kau mau, itupun jika kekasihmu tidak keberatan kau belajar denganku.” Ucapku kelepasan. Duhh....Aku jadi kikuk, seharusnya aku tak perlu menyinggung-nyinggung tentang kekasihnya, kecuali bila ia bercerita atas kemauannya sendiri. Sayang, aku sudah terlanjur mengatakannya. Sungguh sangat kusesali. “Oh, andai bisa ku ulang waktu, ingin rasanya kutarik kembali ucapanku itu.” Vania tersenyum mendengar perkataanku. “Aku tak punya kekasih.” Akunya pelan. Setelah itu, tanpa kuminta, muncullah pengakuan darinya bahwa ia sempat berpacaran dengan beberapa laki-laki. Bahkan ada yang sampai hampir menikahinya. Namun sepertinya Tuhan belum mempertemukan ia dengan jodohnya. Vania harus menelan kenyataan pahit bahwa hubungannya harus berakhir sebelum sampai ke jenjang pelaminan. Alasannya macam-macam, mulai dari dihianati sahabatnya sendiri, ditinggal selingkuh, beda prinsip, cowoknya terlalu possessive, sampai lantaran orang tua masing-masing tak kunjung memberi restu. Lalu, entah kenapa ada perasaaan lega dalam hatiku mendengar pengakuan darinya. Seperti ada oase yang mengalirkan hawa sejuk dalam jiwaku. Entah rasa apa itu, aku tak mampu menafsirkannya.... Aku mulai mengajarinya iqro jilid satu, mulai dari memperkenalkan huruf hijaiyyah yang paling dasa hingga yang paling rumit. Vania sangat antusias sehingga dia bisa cepat menangkap apa yang kuajarkan padanya. Semua berjalan lebih dari apa yang ku kira sebelumnya. Disela waktu itu, aku mulai menyinggung tentang sholat dan puasa. Kuberikan ia sebuah mukena dan kupinjami beberapa buku tuntunan sholat dan puasa. Ia merasa gembira sekali atas bantuanku itu. *** “Mas Rafi, dicari seorang cewek tuh!” Kudengar Hanum berkata lugas sambil menatapku setengah jengkel. Alisku berkerut, memandangnya penuh tanya. “Siapa?” “Tak tahu.” Balasnya acuh, sambil berlalu begitu saja di depanku. Aku mencoba bangkit dari meja kerjaku, berjalan menuju lobby kantor. Sesampainya di ruang lobby, mataku sibuk mengamati seluruh isi ruangan, mencari-cari tamuku itu. Lobby masih tampak sepi. Hanya ada beberapa karyawan hilir-mudik dengan berbagai kesibukan mereka. Lalu, kulihat ada seorang gadis cantik berbalut jilbab merah muda berjalan anggun menghampiriku. Dia kini tersenyum ramah didepanku. Aku bahkan hampir tidak mengenalinya kalau saja tidak kudengar suaranya lewat ucapan salam itu. Suara dari sosok yang amat kukenali. Vania!! Dan, aku masih enggan percaya. Vania, seorang pramugari yang biasanya berpakaian sexy dan terbuka disana-sini itu kini telah berubah. Ini merupakan sebuah keajaiban. Beribu syukur kuucapkan pada-Nya yang telah membuka pintu hidayah untuk Vania. “Assalamu’alaikum.” Aku tercengang. Barangkali keterkejutanku terlalu besar sehingga membuatku tak mampu berkata-kata. “Mas Rafi??” “Eh...wa..wa’alaikumsalam.” Balasku gugup, setelah agak lama terdiam. Aku masih berdiri terpaku menatapnya. “Mas, penampilanku agak aneh ya?” ucapnya celingukan. Vania seolah kurang PD dengan penampilan barunya. Jemari tangannya sibuk membenahi letak lipatan jilbabnya. “Tentu saja tidak. Kau justru terlihat lebih cantik seperti ini.” ucapku cepat. Vania tampak tersipu malu mendengar pujianku, ia semakin salah tingkah didepanku. Aku tersenyum simpul. “Mas, dia siapa?” tanya Hanum tiba-tiba sudah menyusulku. Dia melirik Vania sedikit meremehkan. “Dia sahabatku.” “Vania, ini Hanum, putri sulung Om Hilwan, partner kerja ayahku di CV. Cahaya Insani.” Ucapku memperkenalkan Hanum pada Vania. “Vania.” Ucapnya tersenyum ramah sambil mengulurkan tangan. “Hanum.” Balas Hanum dingin, dibumbui seulas senyum nan masam, lalu pergi begitu saja meninggalkan kami. Vania agaknya merasa bahwa kedatangannya tak disukai oleh Hanum. Dengan wajah penuh rasa bersalah, dia berkata lirih padaku. “Sepertinya Hanum tak suka aku datang kesini.” Ucapnya menyesal. “Tak apa-apa, dia hanya belum mengenalmu.” Hiburku pada Vania. “Oh ya, bukankah seharusnya kau bekerja?” tanyaku heran. “Aku sudah memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku sejak seminggu yang lalu.” Akunya pelan. “Mengapa?” imbuhku penasaran. “Karena sekarang aku mengerti bahwa seorang muslimah yang baik itu senantiasa menutup auratnya.” “Lalu bagaimana dengan orang tuamu? Apakah mereka tidak kecewa dengan keputusanmu itu?” “Awalnya mereka sempat menentang keras keputusanku. Tapi setelah ibuku melihatku mendoakan dia setiap usai sholat, beliau menangis dan mengatakan bahwa beliau mendukungku. Kini ibuku sudah mulai belajar sholat, ayahku bahkan memanggil seorang ustadz untuk menjadi guru mengaji dirumah kami. Sekali lagi aku tak kuasa membendung rasa bahagiaku mendengar pengakuannya. Aku tak pernah menyangka sebelumnya bahwa semuanya akan berjalan semulus dan secepat ini. “Aku bermaksud untuk mengembalikan ini.” ucapnya sambil menyodorkan tiga buah buku padaku, buku yang sempat ku pinjamkan padanya beberapa waktu yang lalu. “Itu untukmu.” balasku cepat. “Untukku??” tanyanya setengah tak percaya. “Ya, untukmu, untuk kau pelajari, lagipula dirumahku masih banyak buku-buku seperti itu. Kalau kau mau, aku akan memberi beberapa lagi.” jawabku tangkas serta bersemangat. “Sungguh??” “Iya.” Anggukku tersenyum. Vania tampak berseri-seri. *** Hari demi hari, bulan demi bulan pun berganti, aku mulai menyadari bahwa kini aku benar-benar jatuh cinta padanya. Langkahku pun kian mantap untuk menikahinya. Setelah kutuntaskan istikharahku, aku semakin yakin bahwa Vania lah yang Alloh persiapkan sebagai tulang rusukku. Tak ada yang kebetulan di dunia ini, semua sudah diatur oleh-Nya. Dan, pasti ada alasan kenapa Alloh mempertemukan kami sejak setahun yang lalu, kemudian saling mengenal satu sama lain hingga akhirnya tumbuh rasa cinta dalam hatiku padanya. Semoga aku melangkah atas ridho-Nya. Lalu, disinilah aku sekarang, di lorong yang sama dengan gadis yang telah meracuni pikiranku selama setahun terakhir ini. Namun, saat hendak mengutarakan maksud hatiku, lidah ini terasa kaku. Aku benar-benar gugup. Bagaimana memulainya? Serba salah. Entah terbang kemana seluruh kata-kata yang sudah kurangkai sejak semalam, kata-kata itu seakan ikut terhempas bersama degupan jantungku yang semakin tak terkendali. Aku mulai berbicara pada diriku sendiri untuk menyemangati, 'hadapi dulu ketakutanmu, lalu kumpulkan keberanian setelahnya’, Bismillah! Aku tarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan sambil menghampiri dia yang sedang sibuk dengan buku bacaan dariku. “Vania, sekarang bisa bicara kita sebentar?” tanyaku dalam bahasa yang kacau-balau. “Apa?” tanyanya tak mengerti. Ia menghentikan bacaannya, lalu menatapku. “Menikah, ya ma..maksudku menikah denganku. Bagaimana? Kau mau? Ucapku lagi, meski masih dengan dialog yang sangat buruk, tapi semoga dia paham dengan apa yang aku maksudkan. Tak ada jawaban. Setuju kah? Loh, kok bengong? Jawab dong!! Apakah tawaranku ini terkesan tiba-tiba? Kagetkah ia? Shock? Cecarku dalam hati. Aku tak berani menatapnya. Nyaliku perlahan mulai memudar. Saat ini aku mulai menyesali keputusanku untuk mengutarakan maksud hatiku. Masih tak ada jawaban. Vania tetap terdiam. Duhh... Hatiku sepertinya telah mampu membaca akhir dari pembicaraan ini. Tapi lho? Dia mulai tersenyum melihat kegugupanku, kemudian mengangguk, sambil tersipu malu-malu. Lalu tertunduk. Uh, uh, uh. Akhirnya lega juga. Padahal aku sudah bersiap-siap patah hati mendengar penolakannya. Ternyata gayung pun bersambut. Cintaku berbalas manis. Aku mengembangkan senyum lebar, Hehee... Alhamdulillah, akhirnya...... Baca Sambungannya : 1.Pelangi Di Ujung Senja Part. I 2.Pelangi Di Ujung Senja Part. II PROFIL PENULIS Ulfatul khadroh, TTL : Kebumen, 7 Maret 1991 Facebook : Ulzahrah Syiefaa Khozin
» Setetes Embun di Hati Syahdu Part. II - Cerpen Persahabatan Remaja
Setetes Embun di Hati Syahdu Part. II - Cerpen Persahabatan Remaja SETETES EMBUN DI HATI SYAHDU PART. II Cerpen Karya Ulzahrah Syiefaa Khozin Kutuliskan kisah sedihku pada buku Diaryku. Aku menangis bersama curahan hatiku atas apa yang sedang kurasakan saat ini. “Du, boleh Mba masuk?” tanya Mba Maula dari balik pintu. Buru-buru kusimpan buku Diaryku. Kuseka air mataku bersih-bersih. Aku tak ingin Mba Maula mendapatiku menangis lagi. “Masuk saja Mba, nggak Syahdu kunci kok.” Mba Maula pun masuk, “Tadi seharian kemana aja?” “Gimana tadi seminarnya Mba?” tanyaku alih-alih menjawab pertanyaannya. “Uh,,keren banget. Sayangnya Syahdu nggak dateng sih.” “Eh iya, tadi tuh temenmu ada yang jadi pembahas juga lo, Adik kelasnya Aal dulu sewaktu SMA. Siapa namanya ya?” kata Mba Maula sambil berusaha mengingat-ingat. “Tita.” jawabku pendek. “Iya Tita. Ternyata dia jago banget bahasa Arabnya ya?” Aku diam saja. Melihat responku yang terkesan datar-datar saja, Mba Maula kelihatan semakin penasaran. “Du, Mba perhatikan kok akhir-akhir ini kamu dengan Tita tak seakrab dulu, ada apa?” Aku enggan menjawab. Aku pura-pura asyik membaca buku. Membolak-balik halaman demi halaman agar tampak serius. “Apa ini ada kaitannya dengan Aal?” ia menatapku penuh tanya. Aku tersentak. Namun tak berani menjawab. “Du, Mba paham dengan apa yang kamu rasakan. Tapi, jikalau Mba boleh berpendapat, apakah kamu mau mendengarkan?” ucapnya serius. Aku mengangguk pelan. “Maksudku....persahabatan kalian terlalu berharga jika harus hancur hanya gara-gara urusan perasaan yang belum tahu bagaimana ujungnya. Mba ngerti, pasti ada rasa kecewa dihatimu melihat kedekatan Aal dengan Tita. Tapi bukankah jodoh itu ditangan Alloh?” “Tapi, Mba......” aku tergugu. “Sudah saatnya kamu berpikir lebih dewasa, Du. Tanyakan pada hati kecilmu, sudah bijak kah tindakanmu itu?” ucap Mba Maula sembari menepuk-nepuk pundakku. “Lagian Mba merasa kalau Aal sebenarnya sudah menyukai gadis lain.” Ucapnya lirih, lirih sekali bahkan hampir tak terdengar. Mungkin dia tak ingin ucapannya itu membuatku semakin terluka. “Siapa Mba?” rengekku padanya. “Aku tak tahu pasti. Yang jelas Iqbal tadi mengatakan bahwa Aal menyisakan satu kursi untuk seorang sahabatnya. Namun, iqbal sendiri tak tahu persis siapa sahabat yang sangat diharapkan Aal untuk hadir di acara seminarnya. Karena ternyata dia tak bisa datang.” Aku tercekat mendengarnya, terlintas olehku perkataan Mas Aal beberapa waktu yang lalu bahwa ia berjanji akan menyediakan satu kursi untukku. Benarkah ia sangat mengharapkan kehadiranku? *** Kawasan Kampus UIN, Jakarta. Siang itu aku ada agenda rapat Laporan Penanggung Jawaban kegiatan Pekan Anak Yatim dan Dhuafa. Sehabis sholat dzuhur, ketika mentari sepenggalan naik, aku bergegas menuju ruang rapat. Sesampainya disana aku langsung memilih tempat duduk yang masih kosong. Alhamdulillah kulihat ada kursi kosong disamping Ratih. Aku langsung memilih untuk duduk disitu. Kali ini aku dan Tita duduk terpisah. Bukannya apa, KEBETULAN aku datang agak telat dan kursi di kanan-kiri Tita sudah bertuan. Aku sengaja menyebutnya ini sebuah KEBETULAN karena memang sejujurnya aku juga sedang tak ingin duduk disampingnya. Tidak seperti biasanya, kulihat Tita tampak murung dan lebih banyak diam selama rapat. Padahal biasanya dia paling aktif dan banyak mengeluarkan ide-ide cemerlang yang biasanya langsung di Amini dan didukung sepenuhnya oleh Mas Fikra, sang ketua organisasi. Seusai rapat, tatkala aku sedang berkemas, Mas Fikra mendekatiku. Dia mengatakan bahwa Tita terlihat sangat sedih, dia memintaku untuk membantu mencari tahu masalahnya. Ketika aku keluar, kulihat Tita tengah duduk sendiri dengan muka tertunduk. Aku mencoba untuk duduk disampingnya. “Ta, kenapa sedih?” sapaku memecah kesunyian. “Aku kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku Mba.” Ucapnya sambil terisak. Aku memandangnya penuh tanya, “Apa?” “Seuntai Tasbih mungil bewarna putih.” “Apakah itu merupakan pemberian dari orang yang sangat istimewa bagimu?” “Itu dari Mas Aal, tiga tahun yang lalu. Saat dia mengatakan bahwa dia jatuh cinta padaku. Aku takut itu merupakan pertanda bahwa aku akan kehilangannya.” Akunya pelan. Aku tercekat mendengar perkataannya. Hatiku teriris, ternyata Tita lah sosok gadis yang pernah diceritakan Mas Aal padaku. Dengan hati hancur kuberikan senyumku yang termanis untuk Tita. “Aku akan membantu mencarinya untukmu.” “Sungguh?” Tita seperti tak percaya. “Ya.” Tita memelukku haru. Dia menangis di bahuku. Akupun menangis. Aku menangis karena merasa bahwa selama ini aku telah bersu’udzon padanya. Aku menganggap bahwa selama ini Tita mencoba merebut Mas Aal dariku. Padahal kenyataannya Tita lah yang lebih dulu mendapatkan hatinya. Dan sejak saat itu aku berusaha untuk melupakan Mas Aal, demi Tita, sahabatku. *** Malam kian larut, percikan gerimis yang turun dari tadi sore belum juga reda. Sementara itu, suara katak tergengar saling bersahutan membentuk irama melodi yang khas. Aku Masih terpaku diatas sajadahku, mencoba mencurahkan isi hatiku kepada Dzat yang memiliki kerajaan hati. Dan aku menemukan kedamaian disana. Sekarang aku sudah benar-benar mengikhlaskannya, kutitipkan dia kepada-Mu karena Aku yakin Engkau Maha Tahu apa yang terbaik buat hambamu ini. Jika kelak dia memanglah untukku, Engkau pasti akan mempertemukan kita di saat yang tepat. Namun, jika dia bukanlah untukku, akupun akan berusaha untuk berbesar hati menerima takdirku. Aku yakin, jika aku selalu mempercantik akhlakku, kelak Engkau pun akan mempertemukanku dengan seseorang yang sealim, sebaik, sekharismatik dan seindah senyumnya. Amiinn.... *** Di hari Mas Aal wisuda, April 2010. Ketika keluar dari gedung wisuda, Mas Aal langsung disambut oleh keluarga dan banyak sahabat-sahabatnya yang menungguinya. Kulihat Tita juga ada disitu, dengan seikat bunga mawar putih di genggamannya. Kuurungkan niatku untuk menemuinya. Kuputuskan untuk memberinya ucapan selamat via sms. Dia membalas sms-ku dan mengucapkan terimakasih kepadaku. Satu bulan kemudian Mas Iqbal dan Mas Aal berangkat ke Mesir untuk melanjutkan studi nya. Mba Maula ikut mengantarkannya sampai ke bandara. Sebenarnya Mba Maula mengajakku juga, namun aku menolaknya dengan alasan aku sedang banyak tugas kuliah. Sepertinya Mba Maula pun memahamiku. Sepulang dari bandara, Mba Maula mengatakan bahwa Mas Aal menanyakanku. *** Sore yang kelabu, Desember 2010. Gerimis pertama di awal bulan Desember menjadi saksi bisu babak pertama putusnya persahabatanku dengan Tita. Kala itu Tita berencana menginap dirumahku untuk menyelesaikan laporan kegiatan. “Assalamu’alaikum.” Tita sudah berdiri didepan pintu pagar rumahku dengan baju setengah basah karena gerimis yang dari tadi mengguyur. “Wa’alaikum salam !” sahut Bi Nah sambil berlari membukakan pintu pagar. “Mba Syahdu ada Bi?” tanyanya pada wanita paruh baya yang sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja dirumahku. “Lagi keluar Mba.” “Kemana?” “Nggak bilang mau kemana. Owh ya Mba Tita tunggu didalam yuk, langsung ke kamarnya Mba Syahdu aja.” “He,,,eh, makasih Bi.” Sesampainya dikamar, Tita langsung mengeluarkan buku-buku yang ada didalam tas nya, memastikan kalau semua bukunya tidak basah karena terkena gerimis dijalan. Tiba-tiba saja tanpa disadarinya, sebuah foto terjatuh dari salah satu bukunya. Disaat yang bersamaan, Bi Nah masuk dengan membawa nampan berisi teh anget dan makanan kecil. Bi Nah menyangka kalau foto itu milikku. “Hmm....Mba Syahdu pasti tadi lupa naruh fotonya Mas Aal.” Ujar bi Nah sambil memungut foto itu. “Fotonya siapa Bi?” Tanya Tita terkejut. “Fotonya Mas Aal.” Jawab Bi Nah sambil memperlihatkan foto itu pada Tita. “Lho? Bi Nah kenal sama laki-laki yang ada dalam foto ini?” “Ya iyalah Mba, ini kan Mas Aal. Dulu itu Mas Aal sering kesini, waktu masih sama-sama kuliah bareng Mba Maula. Dia itu orangnya baik, ramah, alim pula. Ya wajar saja jika Mba Syahdu suka sama dia.” “Mba Syahdu suka sama Mas Aal??” “Iya, sudah sejak lama Mba Syahdu kan suka sama Mas Aal. Sampai-sampai Mba Syahdu menangis semalaman ketika Mas Aal berangkat melanjutkan studinya ke luar negeri. Hingga kini Mba Syahdu juga tak pernah lupa untuk mendoakannya setiap sehabis sholat.” Papar Bi Nah tanpa beban. Sontak Tita langsung memasukkan kembali semua buku-bukunya kedalam tas. Dia mengurungkan kembali niatnya untuk menginap. “Lho? Mba Tita mau kemana?” tanya Bi Nah keheranan melihat Tita tiba-tiba saja berkemas. “Bi, sepertinya saya nggak jadi menginap malam ini, saya ada acara lain.” “Walah, tapi kan Mba Syahdu nya belum pulang, lagian diluar hujannya cukup deras, apa nggak sebaiknya nunggu reda dulu aja Mba?” “Nggak apa-apa Bi, saya bawa jas hujan. Sampaikan saja pada Mba Syahdu kalau saya kesini” Jawabnya sambil sibuk memasukkan buku-bukunya. “Iya, tapi diminum dulu teh nya, mumpung masih anget Mba?” “Lain kali saja Bi, saya agak terburu-buru.” Ucapnya sambil berpamitan. *** Keesokan harinya aku menghampiri Tita yang sedang duduk di meja kerjanya. “Ta, kemarin ada yang tertinggal dikamarku.” Ucapku sambil menyerahkan foto itu padanya. “Ambil saja, bukankah kau juga membutuhkannya?” jawabnya tanpa menoleh kearahku. “Ta, kamu kenapa?” “Kamu yang kenapa?” balasnya dengan nada lebih tinggi. Aku terdiam. “Aku sungguh tak pernah menyangka kalau ternyata Mba Syahdu diam-diam menusukku dari belakang.” “Ta, aku minta maaf, tapi aku tak pernah bermaksud menghianati persahabatan kita, kau hanya salah paham.” “Alaa....sudah jelas-jelas Mba Syahdu diam-diam suka kan sama Mas Aal, padahal Mba Syahdu tau betul kalau aku mencintainya.” “Ta, dengarkan dulu penjelasanku, memang benar aku pernah menyukainya. Tapi itu dulu, jauh sebelum aku mengenalmu, jauh sebelum kita bersahabat, dan semenjak aku tahu bahwa kau mencintainya lebih dulu, aku memutuskan untuk membunuh rasa ini.” “Owh ya?? Haruskah aku sepenuhnya mempercayai kata-kata itu? Sementara kau hingga kini masih saja mendoakannya? Itu artinya kau masih mengharapkannya. Jangan terlalu munafik Mba.” “Ta, apa ada yang salah jika aku mencintai seseorang, dan senantiasa mendoakan yang terbaik untuknya, tanpa berharap lebih. Hanya ingin agar dia selalu ada dalam lindungan-Nya?” ucapku dengan mata berkaca-kaca. “Terserah lah. Yang jelas aku sudah tidak nyaman lagi bekerja-sama denganmu Mba. Hanya ada satu pilihan, aku atau Mba Syahdu yang keluar dari organisasi ini.” jawabnya sambil berlalu meninggalkanku yang terisak di ruangan itu. *** Kabar tentang keributanku dan Tita dengan cepat menyebar luas dan membuat heboh rekan-rekan organisasi kami. Mereka beramai-ramai membuat spekulasi negatif tentangku. Ada yang secara terang-terangan menyindirku, ada pula yang memberikan tatapan ‘menghakimi’ kearahku. Aku hanya bisa pasrah dan berusaha untuk tabah menerima kenyataan ini, aku sama sekali tak diberi kesempatan untuk membela diri karena hampir semua sahabat-sahabat yang dulu dekat denganku kini mulai menjauhiku. Hanya Mas Fikra yang masih setia memberi dukungan kepadaku. “Du, aku tahu kau tak sejahat yang teman-teman katakan tentangmu. Aku percaya padamu sepenuhnya.” Ujarnya padaku. “Mungkin memang lebih baik jika aku keluar dari organisasi ini Mas. Toh mereka juga sudah tidak mau berkomunikasi lagi denganku.” Jawabku tertunduk. “Kau hanya perlu sedikit bersabar. Aku yakin pasti semua ini akan berlalu.” “Semoga saja, aku pulang dulu.” Kataku sambil berpamitan padanya. “Hati-hati dijalan.” Jawabnya sambil melepas kepergianku. Sejenak setelah aku pergi, Tita muncul. “Ada yang harus kusampaikan padamu Mas.” Katanya sambil berjalan mendekati meja mas Fikra. “Ada apa?” “Aku sudah memutuskan untuk resign dari organisasi ini.” Mas Fikra tak berkedip menatap Tita. “Apa alasannya?” “Kurasa aku tak perlu mengungkapkan apa alasannya, karena aku yakin Mas Fikra sudah tahu alasannya.” Ucapnya dengan nada ketus. “Owh, karena Syahdu? Karena kau dan Syahdu berlomba-lomba memperebutkan Aal? Aku benar-benar menyayangkan sikapmu Ta, kenapa kamu tak bisa membedakan mana masalah pribadi dan mana masalah organisasi? Bukankah sudah sering kukatakan, jangan bawa-bawa masalah pribadi kedalam organisasi?” “Aku tak punya banyak waktu Mas, pilih aku atau Mba Syahdu yang harus bertahan.” “Ternyata cintamu begitu besar padanya, sampai-sampai kamu rela mengorbankan semuanya.” Kata Mas Fikra pelan, lubuk hatinya begitu sedih, betapa selama ini dia mengagumi Tita, berusaha untuk memberikan perhatian padanya, tetapi tetap saja dia tak bisa mengambil hatinya. Tetapi Aal, dengan mudahnya mendapatkan hatinya. “Kau dan Syahdu memegang peranan penting disini, lalu bagaimana jika salah satu dari kalian harus keluar?” “Sejujurnya aku juga tak mau keluar, tapi kalau sampai saat ini Mba Syahdu belum keluar, itu berarti aku yang harus keluar dari sini.” “Aku yang menyuruhnya bertahan sampai saat ini.” “Owh ya?? Jangan dikira aku nggak tahu Mas, Mas Fikra sedang melindunginya kan? Apa tadi dia merengek minta dilindungi?” “Bukan begitu Ta, Syahdu nggak seperti itu. Kau kenal dia dan menurutku sungguh tidak bijak jika aku membiarkannya keluar.” “Aaaahhh....gini jadinya kalau bawa-bawa perasaan.” Ucap Tita kesal. “Kamu ngomong apa?” tanya Mas Fikra keheranan. “Mas Fikra mencintainya kan? Itu sebabnya Mas Fikra menyuruhnya untuk tetap bertahan.” “Tidak. Tapi aku mencintaimu.” Ucapnya sambil berlalu dari ruangannya dan membiarkan Tita tercengang dengan apa yang baru saja ia dengar. *** Hari-hari selanjutnya merupakan masa-masa sulit dalam hidupku. Tita sangat membenciku. Aku merasa sangat sedih karena dia bahkan sama sekali tak mau menyapaku, sekalipun kita berada dalam satu ruangan yang sama. Dia hanya menatapku dengan tatapan yang sulit untuk kutafsirkan. Ya, tatapan yang mampu mencabik-cabik batinku. Sekali lagi aku hanya bisa pasrah dan mengembalikan semuanya pada Alloh. Padahal setengah mati perjuanganku untuk berusaha menghindari mas Aal. Demi Tita, sahabatku. Disaat-saat seperti ini, aku tiba-tiba merindukan Mba Maula. Sejak kepergiannya melanjutkan S2 nya di Australia, aku seolah kehilangan teman curhat. Semua beban aku pendam sendiri. Sahabat-sahabatku yang lain seperti Hanny, Airin dan Ratih lebih memilih untuk berdiri dibelakang Tita. Semakin hari kondisi kesehatanku menurun. Aku panas tinggi hingga membuat orang-orang rumah panik. Abi dan Ummiku memutuskan untuk membawaku ke rumah sakit. Pada akhirnya kudapati diriku tergolek lemas dengan selang infus yang menempel ditangan kiriku. *** Aku membuka mata perlahan, menatap langit-langit dan ruangan yang bewarna putih. Aku menyadari bahwa kini aku sedang berada dirumah sakit. Ada Abi dan Ummi disebelah kananku. Mereka masih tampak cemas. Kulihat Ummi berkali-kali menyapu air matanya. Aku mencoba untuk tersenyum kearah mereka, kutunjukkan pada mereka bahwa aku baik-baik saja. “Mi, jangan menangis.” Ucapku lirih. “Kami sedih melihatmu begini Nak.” Ummi memegang jemariku erat. “Syahdu baik-baik saja.” “Banyak-banyaklah istirahat, jangan terlalu banyak pikiran.” Imbuh Abi sambil membetulkan letak selimutku. Aku mencoba untuk tidur, tapi hanya mata ini yang terpejam. Jiwaku terus terjaga. *** Sejak sakit, aku sholat diatas pembaringan. Setiap usai sholat, aku tak kuasa lagi membendung air mataku. Aku berdoa agar Alloh membukakan mata hati sahabat-sahabatku. “Maafkan aku, Tita.....” Dalam tidurku, sepertinya aku merasakan kehadiran sahabat-sahabatku. Kudengar suara mereka dengan jelas. Aku yakin ini hanya mimpi. Kupejamkan lagi mataku, aku khawatir jika aku terbangun nanti, aku akan menyadari sepenuhnya bahwa mereka hanya hadir dalam mimpiku, bukan dalam dunia nyata. “Syahdu, coba lihat siapa yang datang, Sayang?” ucap Ummi tatkala melihatku terbangun. Aku menoleh, samar-samar kulihat Mas Fikra tersenyum kearahku, lalu disebelahnya ada Hanny, Airin, Ratih dan disebelahnya lagi.....Tita?? aku terkesiap, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Kugosok-gosok lagi mataku, sekedar ingin memastikan bahwa aku tidak sedang berhalusinasi. Namun, sosok itu tetap tak berubah. Ya memang itu Tita. Kulihat Tita menatapku dengan sorotan mata yang teduh. Tatapan yang sering kulihat ketika kami masih menjadi sahabat. Aku sama sekali tak melihat aura kebencian yang akhir-akhir ini ia tunjukkan padaku. Alhamdulillah, Alloh telah menunjukkan ke Maha Kuasaan-Nya. Dia telah mencairkan ego yang selama ini membeku dalam hati Tita. “Maafkan sikapku selama ini Mba.” Isaknya sambil memelukku. “Aku juga minta maaf Ta, aku yang salah.” Jawabku parau. “Tita yang Egois, selama ini Mba Syahdu menyembunyikan perasaannya demi keutuhan persahabatan kita. Itu pasti tak mudah, dan Mba Syahdu pasti sangat terluka. Tapi, Tita malah membuat Mba Syahdu semakin terluka dengan keegoisan Tita.” “Saling memaafkan saja, itu lebih baik bukan?” imbuh Mas Fikra sambil tersenyum. “Kita mulai dari awal lagi.” “Ya, kita mulai dari awal lagi, sahabatku.” Jawabku penuh haru. Semakin hari kondisi kesehatanku semakin membaik. Kehadiran sahabat-sahabatku menjadi suntikan semangat buatku untuk cepat sembuh. Persahabatanku dengan Tita kini kembali terjalin. Sahabat-sahabatku yang dulunya menghindariku sekarang sudah kembali dekat denganku. Aku sangat bahagia sekali. Semoga Mas Aal diluar sana juga bahagia. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuknya. *** Hari berganti minggu, minggu pun berganti bulan dan bulan berganti tahun. Sejak keberangkatan Mas Aal ke Mesir tiga tahun yang lalu, kami tak pernah lagi bertemu. Akupun tak pernah tahu apakah disana dia masih sempat mengingatku ataukah tidak. Yang jelas, doaku tak pernah terputus untuk mendoakan yang terbaik untuknya. Hingga akhirnya kami dipertemukan kembali dalam acara pesta pernikahan Mba Maula dan Mas Iqbal. Ia tak banyak berubah, masih sama seperti dulu. Jelas sekali kulihat ia tersenyum kearahku. Aku tersenyum, jeda waktu dimana ia tak pernah muncul lagi didepanku, senyumnya membuat asa ku yang gersang kini mulai hidup kembali. Dalam hati bersemilah harapan, semoga Alloh kelak mempertemukan kami dipelaminan itu, mengikat janji untuk berbagi dalam suka dan duka, mendidik anak-anak kami hingga menjadi ulama besar. “Mereka tampak serasi ya?” ucapnya membuyarkan lamunanku. “Ya, serasi sekali.” Jawabku tanpa berani menatapnya. “Du, maukah kau menikah denganku?” ucapnya mengejutkanku. Ia menatapku. Aku kehilangan kata-kata. Lidah ini terasa kelu untuk menjawab pertanyaannya. “Du, aku sudah menyelesaikan kuliahku, aku juga sudah bekerja. Aku ingin menepati janjiku dahulu bahwa aku akan menjemputmu.” Imbuhnya dengan penuh kesungguhan. “Aku tidak bisa.” Jawabku menggeleng pelan sambil menahan air mata yang hampir tumpah. “Mengapa Syahdu? Apakah sudah ada sosok lain yang mengisi hatimu?” Aku kembali menggeleng. “Lalu??” “Tita lebih pantas untukmu Mas.” Ucapku lirih. “Tapi aku memilihmu, Syahdu? Bukan Tita, karena aku mencintaimu dengan segala kekurangan dan kelebihanmu.” “Aku belum bisa se-sholekhah Tita Mas.” “Aku akan membimbingmu. Kau tak perlu khawatirkan itu.” *** Hari ini aku datang berbagi doa untuk sahabatku. Semoga kau bahagia. Memoriku berselancar, kuingat nostalgia saat kita sama-sama merentas mimpi dan membangun asa. Meski persahabatan kita banyak diurai tangis dan tawa, namun didalamnya aku mengerti arti sahabat yang sesungguhnya, sebuah ikatan yang sangat berharga untuk dipertahankan. Terimakasih telah menjadi sahabat terbaikku, Tita. Kulihat kau tampak begitu bahagia dengan pestamu. Semoga kau dan Mas Fikra bisa membangun keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah seperti yang kau impi-impikan sejak dulu. Aku tak datang sendirian, aku ditemani Mas Aal yang kini telah menjadi suamiku, serta si ‘Alif’ kecil yang ada dalam gendongannya. Semoga pertemuan selanjutnya kutemukan kau dan Mas Fikra serta ‘si jagoan kecilmu’ yang semakin memperlengkap kebahagiaan kalian. Amiin. *TAMAT* Baca Sambungannya : 1.Setetes Embun di Hati Syahdu Part. I 2.Setetes Embun di Hati Syahdu Part. II PROFIL PENULIS Ulfatul Khadroh, TTL : Kebumen, 7 Maret 1991 Facebook : Ulzahrah Syiefaa Khozin